Syauki mengatakan, pertumbuhan kendaraan roda dua berbasis listrik mengalami pertumbuhan 13 kali lipat, sedangkan kendaraan roda empat tumbuh hingga 5 kali lipat. Sebelum diberlakukanya Permenperin nomor 21 tahun 2023 dan Perpres 79 tahun 2023, penjualan kendaraan roda dua hanya mencapai 211 unit dan roda empat sebanyak 476 unit.

Setelah diberlakukanya kebijakan tersebut, sampai dengan saat ini penjualan kendaraan roda dua berbasis listrik menembus angka 2.700 unit dan roda empat sebanyak 2.355 unit. "Load-nya sangat luar biasa, tentu di baliknya bisnis infrastruktur merupakan bisnis yang sangat menjanjikan ke depannya," ujarnya.

Baca Juga: PLN Indonesia Power dan China Energy Sepakat Kaji Pengembangan Energi Hijau Skala Besar di Sulawesi

Syauki menyebut, tumbuhnya angka penjualan tersebut sejalan dengan jumlah transaksi per Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) milik PLN yang meningkat. "Tren pemasangan home charging di rumah di tahun 2022 hanya 1.724 kemudian di tahun 2024 11.210," ujarnya.

Lanjutnya, pertumbuhan dari tren pemasangan home charging tersebut tak terlepas dari meningkatnya populasi dari kendaraan listrik di Indonesia. "Angka 11 ribu ini merupakan angka home charging yang terkoneksi ke sistem PLN. Ketika home charging connect ke sistem PLN, dia akan mendapatkan berbagai value terkait biaya penyambungan dan diskon biaya energi sebanyak 30 persen. Secara normal, biaya home charging di rumah tangga sekitar 1.600 rupiah ketika dia mendapat diskon jadi hanya 1.200. Ini sangat luar biasa menyebabkan efisiensi," ucapnya.

Sementara itu, pada acara yang sama Presiden Direktur PT Dharma Controlcable Indonesia, Eko Maryanto, menyebut, masih terdapat beberapa pekerjaan rumah bagi Indonesia jika ingin menjadi pemain utama dalam industri Battery untuk kebutuhan kendaraan listrik. Salah satunya adalah dengan melengkapi infrastruktur supply chain industri Battery dan meningkatkan nilai tambah kekayaan alam Indonesia.

"Nah ini salah satu syarat Indonesia, kalau kita ingin menjadi pemain utama di industri EV, dengan adanya bahan baku dimiliki, kita harus memiliki supply chain yang sangat kuat mulai dari minning, upstream, yaitu ada minning refining. Ini yang sudah dijalankan pemerintah dengan adanya hilirisasi nikel. Terus kemudian, midstream," ujar Eko.

Dia menyebut, pemerintah harus memulai untuk fokus ke midstream dengan membangun industri pembuat precursor dan battery cell yang masih diimpor. "Midstream ini yang jadi masalah yang ada di Indonesia. Precursor itu di Indonesia belum ada. Bahan pembuat untuk baterai, battery cell," ujarnya.

Lanjutnya, ia menyebut bahwa saat ini PT HLI Green Power (Hyundai–LGES) tengah membuat battery cell untuk kebutuhan Hyundai masih menggunakan precursor yang diimpor. Selama ini bahan baku untuk LG, hyunday LGES, HLI green power bisa dikata hampir kebanyakan masih impor.

"Ini yang membuat kita di Indonesia kurang kompetitif sehingga banyak industri yang lain yang ingin mendirikan battery cell itu gak di Indonesia. Ini beberapa partner kita yang ada di China, pemain besar di baterai itu. Indonesia bukan menjadi rujukan walaupun Indonesia kaya terhadap mineralnya," ucapnya.

Dirinya mengaku, DRMA sedang dalam studi pengembangan teknologi precursor dan battery cell dengan potential partners yang menguasasi teknologi tersebut. "Nah ini, kalau kita di Dharma Grup, semua yang ada di sini. Kita sudah fokus di assembly sama di battery recycle. Di battery recycle kami sudah mendirikan PT Dharma Energy Resources untuk me-recycle battery. Untuk prekursor saat ini, LG itu justru membangun di Indonesia, memanfaatkan material dari Korea ataupun dari China," tutupnya.