Warta Ekonomi baru saja menggelar 3 rangkaian seminar guna mendukung perekonomian dan investasi ramah lingkungan di Indonesia, pada Selasa (26/3/2024) di Hotel Sultan, Jakarta Pusat.

Mengangkat sejumlah tema, seperti "Economic & Business Outlook 2024", "Indonesia Zero Carbon Forum", dan "Kaya Bahan Baku, Siapkah Indonesia Jadi Remain Utama EV", acara ini dihadiri oleh sejumlah narasumber yang ahli dalam bidangnya, seperti Abdurohman selaku Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM) Kementerian Keuangan RI; Piter Abdullah Redjalam selaku Ekonom dan Direktur Eksekutif Segara Research Institute; Lufaldy Ernanda selaku Direktur Pengawasan Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK; Dian Kurniasarie selaku Kepala Divisi Strategi dan Manajemen Risiko KSEI; Trioksa Siahaan selaku Desk Head, Riset, dan Pengembangan Produk LPPI; Edwin Hartanto selaku Kepala Unit Pengembangan Carbon Trading dan Inisiatif Baru BEI; Telisa Aulia Falianty selaku Staf Ali BRI Danareksa Sekuritas; Ahmad Syauki selaku VP Perencanaan Strategis Pengembangan Produk Niaga PLN; dan Eko Maryanto selaku Presiden Direktur PT Dharma Controlcable Indonesia Tbk.

Baca Juga: Gelar Indonesia Most Visionary Companies Award 2024, Warta Ekonomi Dukung Perusahaan dengan Ambisi Berkelanjutan

Economic & Business Outlook 2024: Ini Tiga Kunci Menuju Indonesia Emas 2045

Indonesia Emas 2045 masih menjadi asa yang perlu diwujudkan lewat segenap kolaborasi dari swasta dan pemerintah. Kendala yang muncul tak hanya dari situasi yang tak bisa diprediksi dalam industri, tetapi dapat muncul dari regulasi dari Pemerintahan Indonesia. Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Abdurohman, mengatakan, secara umum regulasi Tanah Air masih perlu optimalisasi untuk menunjang jalan menjadi negara berekonomi maju.

"Secara umum, memang dari sisi sistem regulasi kita perlu banyak improvement. Saya kira ini menjadi salah satu kendala terbesar dari attractiveness dari investasi kita di negeri ini," jelasnya di Indonesia Economic & Business Outlook 2024, Selasa (26/3).

Pihaknya menegaskan, perbaikan regulasi dapat menunjang kehadiran dari kunci pertumbuhan ekonomi, yakni Modal, Tenaga Kerja, dan Produktivitas. Modal dalam bentuk investasi maupun infrastruktur diperlukan suatu negara untuk membangun ekonominya karena merupakan sumber utama dari pertumbuhan ekonomi. Modal domestik seringlah terbatas situasi sehingga membuat modal asing dapat menjadi pilihan yang tepat untuk menumbuhkan ekonomi dari Indonesia. "Jadi, kalau kita mau dorong pertumbuhan ekonomi sampai enam persen, artinya kita harus mengundang investor asing ke Indonesia," ujar Abdurohman.

Sementara, ketersediaan tenaga kerja untuk Tanah Air masih tergolong memadai untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, pemerintah harus ingat bahwa bonus demografi akan terus menurun seiring dengan waktu. Di sisi lain, perkembangan teknologi dan industri akan menuntut pemerintah untuk menghadirkan regulasi yang dapat membantu perbaikan kualitas tenaga kerja sebagai sumber daya manusia.

"Dari sisi labor saya kira kontribusinya tidak akan jauh berbeda, mungkin yang bisa didorong lagi adalah productivity. Ini juga terkait dengan kualitas distribusi kita, regulasi, ini saya kira sangat menentukan," terangnya.

Berikutnya, dalam memaksimalkan produktivitas, peran pemerintah sangatlah penting mulai dari menghadirkan perbaikan regulasi dan efisiensi birokrasi, perbaikan infrastruktur, hilirisasi dan transformasi hijau. "Tiga hal yang perlu di-adress pemerintah adalah bagaimana kita mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, kemudian memperkuat kesejahteraan masyarakat dan pemerataan antardaerah," tuturnya.

Indonesia Zero Carbon Forum: Bukti Indonesia Punya Bursa Karbon dan Menjadi Salah Satu Terbesar di Dunia

Pemerintah melalui Bursa Efek Indonesia (BEI) meluncurkan Bursa Karbon Indonesia pada 26 September 2023. Upaya kebijakan jual beli emisi karbon ini dinilai tidak hanya mendorong industri untuk memberlakukan pengurangan emisi karbon, tetapi juga membuka peluang yang luas untuk investasi. 

Apalagi, Bursa Karbon di Indonesia makin menarik perhatian investor dalam ranah green and sustainable finance yang menawarkan peluang investasi yang ramah lingkungan. Mendukung upaya ini, Warta Ekonomi dengan bangga menghelat Indonesia Zero Carbon Forum: Innovative Steps to Encourage Carbon Exchanges di Jakarta, Selasa (26/3/2024).

Baca Juga: Inisiatif SCG Wujudkan Masyarakat Net Zero: Strategi Inovasi Hijau dengan Optimalisasi Pengembangan Semen Rendah Karbon

CEO dan Chief Editor Warta Ekonomi Group Muhamad Ihsan mengatakan, Bursa Karbon di Indonesia menggambarkan peluang yang bisa diambil dari carbon trading. "Zero Carbon Forum artinya langkah-langkah yang diperlukan sejalan dengan kita akan melakukan ke arah zero carbon dengan fokus kita pada carbon trading," ungkap Ihsan dalam sambutannya.

Menurutnya, peluang yang bisa diambil dari carbon trading sangat besar. Sayangnya, perdagangan di Indonesia belum banyak. "Yang kami ketahui, perdagangannya belum banyak, tapi potensinya sangat luar biasa mengingat luasnya hutan tropis kita," tegas Ihsan.

Sementara itu, Direktur Pengawasan Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK, Laufaldy Ernanda, menyambut baik kegiatan forum yang dilakukan Warta Ekonomi seperti ini karena mendorong program perdagangan karbon di Indonesia. Ditambah lagi, Laufaldy mengatakan banyak tantangan dalam bursa karbon yang bukan hanya bisa dikerjakan oleh regulator, tetapi butuh pula dukungan dari stakeholer, termasuk media yang sama-sama menyuarakan isu global climate change.

"Isu climate change itu adalah isu global dan harus semua pihak dan institusi men-tackle isu tersebut," tegas Laufaldy.

Laufaldy menyebutkan, implementasi perdagangan karbon sendiri diwujudkan melalui perdagangan carbon yang telah menjadi target penting di beberapa negara. Dia mengatakan, beberapa negara berlomba-lomba untuk punya bursa karbon sendiri dan untungnya Indonesia menjadi salah satu yang terbesar. Secara rinci, Laufaldy menyebutkan, sejak diluncurkan pertama kali, akumulasi transaksi volume perdagangan karbon mencapai volume sekitar 571.956 ton CO2 setara Rp35,3 miliar. 

"Rp35,3 miliar ini memang masih sangat kecil apalagi dengan program jangka panjang targetnya tentu di atas itu. Namun, untuk ukuran sejak diluncurkan hingga 25 Maret 2024, itu adalah pencapaian. Apalagi, negara tetangga, Malaysia misalnya, saat meluncurkan bursa karbon transaksinya nol (0)," jelas Laufaldy. 

Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan bukan saja di domestik, tapi mengglobal, optimalisasi perdagangan karbon OJK tidak bisa berjalan sendiri. Bahkan, upaya dukungan ini juga bukan hanya diharapkan datang dari investor domestik, melainkan juga global agar mau berinvestasi di berbagai protek pengurangan emisi yang nantinya menghasilkan karbon kredit. 

"Ke depan smoga bisa bekerja sama di forum-forum terkait dan akan menjadi penguat ekosistem karena memperkuat ekosistem perdagangan karbon tidak mudah, kami butuh input dan masukan," pungkas Laufaldy. Untuk diketahui, sebanyak 5 sektor yang sudah ikut serta dalam bursa karbon dalam negeri, yakni sektor energi, volume, limbah, agriculture, dan industri umum. 

Indonesia memiliki target menurunkan emisi GRK, sebesar 31,89% (tanpa syarat dan tanpa bantuan internasional) atau sebesar 43,2% (dengan dukungan internasional) dari tingkat emisi normalnya (atau Business As Usual) pada 2030. Sesuai berlakunya UU No. 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), OJK memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengawasi perdagangan karbon melalui bursa karbon di Indonesia.

Adapun dalam Zero Carbon Forum, Warta Ekonomi juga mengundang sejumlah pakar, seperti Dian Kurniasari-Kepala Divisi Strategi Manajemen Risiko KSEI, Trioksa Siahaan-Desk Head dan Desk Riset dan Pengembangan Produk (DRPP) LPPI, Edwin Hartanto-Kepala Unit Pengembangan Carbon Trading dan Inisiatif Baru, Bursa Efek Indonesia (BEI), dan Telisa Aulia Falianti-Staf Ahli BRI Danareksa Sekuritas.

Kaya Bahan Baku, Siapkah Indonesia Jadi Remain Utama EV?

Cita-cita pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain utama kendaraan listrik atau Elektric Vehicle (EV) dunia masih terbuka cukup lebar. Keseriusan pemerintah dalam mengejar cita-cita tersebut terlihat dari upaya yang dilakukan dalam membangun ekosistem kendaraan listrik, mulai dari stasiun pengisi daya, pembangunan pabrik baterai, hingga stimulasi pemberian subsidi, dan yang lainnya. Presiden telah mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2023, tentang Perubahan Perpres Nomor 55 Tahun 2019. 

Tertulis dalam Pasal 8, kewajiban penerapan tingkat komponen dalam negeri alias TKDN untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai roda empat sebesar 40 persen berlaku hingga 2026. Dengan begitu, pemerintah berkomitmen mempercepat pengembangan ekosistem industri kendaraan listrik di Tanah Air.

Baca Juga: Langkah Bank BTPN Dukung Transisi Menuju Ekonomi Hijau Melalui ESG Deposit

Untuk mendukung Indonesia menjadi pusat industri kendaraan listrik dan mendorong percepatan struktur bagi ekosistem mobil listrik di Indonesia, dengan meningkatkan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) menjadi 40 persen dan tertulis hingga 2030 dan seterusnya, TKDN minimum sebesar 80%. Hilirisasi industri menjadi salah satu konsen pemerintah saat ini, melalui Kemenko Marves menyatakan bahwa hilirisasi pertambangan Indonesia dapat menjadi peluang dan langkah menuju masa depan. Topik hilirisasi juga menjadi salah satu hal yang dibahas dalam debat Calon Presiden 2024. 

Selain pentingnya hilirisasi ini, terwujudnya ekosistem kendaran listrik tentu juga harus didukung dengan ekosistem dan infrastruktur yang memadai. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan insentif yang bertujuan untuk mendukung pasokan kendaraan listrik yang terjangkau.

Untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik ke depan, Pemerintah saat ini memperkuat dengan aturan baru terkait Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 38/2023 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Empat Tertentu dan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Bus Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2023. 

Meski demikian, hingga saat ini, populasi kendaraan listrik belum mencapai ekspektasi yang diharapkan oleh pemerintah. Hal tersebut disebabkan belum terciptanya ekosistem kendaraan listrik secara optimal seperti yang tergambar dari ketersedian stasiun pengisian kendaraan listrik Umum (SPKLU) dan stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU).

VP Perencanaan Strategis Pengembangan Produk Niaga, Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero), Ahmad Syauki, mengatakan, kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dan pihaknya mendorong pertumbuhan ekosistem kendaraan listrik atau electric vehichle (EV) sangat pesat di Indonesia. "Berbagai kebijakan baik oleh pemerintah melalui kementerian ataupun PLN ini tumbuhnya ekosistem ini sangat luar biasa," ujar Syauki dalam Warta Ekonomi Economy & Business Outlook 2024, Selasa (26/3/2024).

Syauki mengatakan, pertumbuhan kendaraan roda dua berbasis listrik mengalami pertumbuhan 13 kali lipat, sedangkan kendaraan roda empat tumbuh hingga 5 kali lipat. Sebelum diberlakukanya Permenperin nomor 21 tahun 2023 dan Perpres 79 tahun 2023, penjualan kendaraan roda dua hanya mencapai 211 unit dan roda empat sebanyak 476 unit.

Setelah diberlakukanya kebijakan tersebut, sampai dengan saat ini penjualan kendaraan roda dua berbasis listrik menembus angka 2.700 unit dan roda empat sebanyak 2.355 unit. "Load-nya sangat luar biasa, tentu di baliknya bisnis infrastruktur merupakan bisnis yang sangat menjanjikan ke depannya," ujarnya.

Baca Juga: PLN Indonesia Power dan China Energy Sepakat Kaji Pengembangan Energi Hijau Skala Besar di Sulawesi

Syauki menyebut, tumbuhnya angka penjualan tersebut sejalan dengan jumlah transaksi per Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) milik PLN yang meningkat. "Tren pemasangan home charging di rumah di tahun 2022 hanya 1.724 kemudian di tahun 2024 11.210," ujarnya.

Lanjutnya, pertumbuhan dari tren pemasangan home charging tersebut tak terlepas dari meningkatnya populasi dari kendaraan listrik di Indonesia. "Angka 11 ribu ini merupakan angka home charging yang terkoneksi ke sistem PLN. Ketika home charging connect ke sistem PLN, dia akan mendapatkan berbagai value terkait biaya penyambungan dan diskon biaya energi sebanyak 30 persen. Secara normal, biaya home charging di rumah tangga sekitar 1.600 rupiah ketika dia mendapat diskon jadi hanya 1.200. Ini sangat luar biasa menyebabkan efisiensi," ucapnya.

Sementara itu, pada acara yang sama Presiden Direktur PT Dharma Controlcable Indonesia, Eko Maryanto, menyebut, masih terdapat beberapa pekerjaan rumah bagi Indonesia jika ingin menjadi pemain utama dalam industri Battery untuk kebutuhan kendaraan listrik. Salah satunya adalah dengan melengkapi infrastruktur supply chain industri Battery dan meningkatkan nilai tambah kekayaan alam Indonesia.

"Nah ini salah satu syarat Indonesia, kalau kita ingin menjadi pemain utama di industri EV, dengan adanya bahan baku dimiliki, kita harus memiliki supply chain yang sangat kuat mulai dari minning, upstream, yaitu ada minning refining. Ini yang sudah dijalankan pemerintah dengan adanya hilirisasi nikel. Terus kemudian, midstream," ujar Eko.

Dia menyebut, pemerintah harus memulai untuk fokus ke midstream dengan membangun industri pembuat precursor dan battery cell yang masih diimpor. "Midstream ini yang jadi masalah yang ada di Indonesia. Precursor itu di Indonesia belum ada. Bahan pembuat untuk baterai, battery cell," ujarnya.

Lanjutnya, ia menyebut bahwa saat ini PT HLI Green Power (Hyundai–LGES) tengah membuat battery cell untuk kebutuhan Hyundai masih menggunakan precursor yang diimpor. Selama ini bahan baku untuk LG, hyunday LGES, HLI green power bisa dikata hampir kebanyakan masih impor.

"Ini yang membuat kita di Indonesia kurang kompetitif sehingga banyak industri yang lain yang ingin mendirikan battery cell itu gak di Indonesia. Ini beberapa partner kita yang ada di China, pemain besar di baterai itu. Indonesia bukan menjadi rujukan walaupun Indonesia kaya terhadap mineralnya," ucapnya.

Dirinya mengaku, DRMA sedang dalam studi pengembangan teknologi precursor dan battery cell dengan potential partners yang menguasasi teknologi tersebut. "Nah ini, kalau kita di Dharma Grup, semua yang ada di sini. Kita sudah fokus di assembly sama di battery recycle. Di battery recycle kami sudah mendirikan PT Dharma Energy Resources untuk me-recycle battery. Untuk prekursor saat ini, LG itu justru membangun di Indonesia, memanfaatkan material dari Korea ataupun dari China," tutupnya.