Indonesia Zero Carbon Forum: Bukti Indonesia Punya Bursa Karbon dan Menjadi Salah Satu Terbesar di Dunia

Pemerintah melalui Bursa Efek Indonesia (BEI) meluncurkan Bursa Karbon Indonesia pada 26 September 2023. Upaya kebijakan jual beli emisi karbon ini dinilai tidak hanya mendorong industri untuk memberlakukan pengurangan emisi karbon, tetapi juga membuka peluang yang luas untuk investasi. 

Apalagi, Bursa Karbon di Indonesia makin menarik perhatian investor dalam ranah green and sustainable finance yang menawarkan peluang investasi yang ramah lingkungan. Mendukung upaya ini, Warta Ekonomi dengan bangga menghelat Indonesia Zero Carbon Forum: Innovative Steps to Encourage Carbon Exchanges di Jakarta, Selasa (26/3/2024).

Baca Juga: Inisiatif SCG Wujudkan Masyarakat Net Zero: Strategi Inovasi Hijau dengan Optimalisasi Pengembangan Semen Rendah Karbon

CEO dan Chief Editor Warta Ekonomi Group Muhamad Ihsan mengatakan, Bursa Karbon di Indonesia menggambarkan peluang yang bisa diambil dari carbon trading. "Zero Carbon Forum artinya langkah-langkah yang diperlukan sejalan dengan kita akan melakukan ke arah zero carbon dengan fokus kita pada carbon trading," ungkap Ihsan dalam sambutannya.

Menurutnya, peluang yang bisa diambil dari carbon trading sangat besar. Sayangnya, perdagangan di Indonesia belum banyak. "Yang kami ketahui, perdagangannya belum banyak, tapi potensinya sangat luar biasa mengingat luasnya hutan tropis kita," tegas Ihsan.

Sementara itu, Direktur Pengawasan Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK, Laufaldy Ernanda, menyambut baik kegiatan forum yang dilakukan Warta Ekonomi seperti ini karena mendorong program perdagangan karbon di Indonesia. Ditambah lagi, Laufaldy mengatakan banyak tantangan dalam bursa karbon yang bukan hanya bisa dikerjakan oleh regulator, tetapi butuh pula dukungan dari stakeholer, termasuk media yang sama-sama menyuarakan isu global climate change.

"Isu climate change itu adalah isu global dan harus semua pihak dan institusi men-tackle isu tersebut," tegas Laufaldy.

Laufaldy menyebutkan, implementasi perdagangan karbon sendiri diwujudkan melalui perdagangan carbon yang telah menjadi target penting di beberapa negara. Dia mengatakan, beberapa negara berlomba-lomba untuk punya bursa karbon sendiri dan untungnya Indonesia menjadi salah satu yang terbesar. Secara rinci, Laufaldy menyebutkan, sejak diluncurkan pertama kali, akumulasi transaksi volume perdagangan karbon mencapai volume sekitar 571.956 ton CO2 setara Rp35,3 miliar. 

"Rp35,3 miliar ini memang masih sangat kecil apalagi dengan program jangka panjang targetnya tentu di atas itu. Namun, untuk ukuran sejak diluncurkan hingga 25 Maret 2024, itu adalah pencapaian. Apalagi, negara tetangga, Malaysia misalnya, saat meluncurkan bursa karbon transaksinya nol (0)," jelas Laufaldy. 

Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan bukan saja di domestik, tapi mengglobal, optimalisasi perdagangan karbon OJK tidak bisa berjalan sendiri. Bahkan, upaya dukungan ini juga bukan hanya diharapkan datang dari investor domestik, melainkan juga global agar mau berinvestasi di berbagai protek pengurangan emisi yang nantinya menghasilkan karbon kredit. 

"Ke depan smoga bisa bekerja sama di forum-forum terkait dan akan menjadi penguat ekosistem karena memperkuat ekosistem perdagangan karbon tidak mudah, kami butuh input dan masukan," pungkas Laufaldy. Untuk diketahui, sebanyak 5 sektor yang sudah ikut serta dalam bursa karbon dalam negeri, yakni sektor energi, volume, limbah, agriculture, dan industri umum. 

Indonesia memiliki target menurunkan emisi GRK, sebesar 31,89% (tanpa syarat dan tanpa bantuan internasional) atau sebesar 43,2% (dengan dukungan internasional) dari tingkat emisi normalnya (atau Business As Usual) pada 2030. Sesuai berlakunya UU No. 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), OJK memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengawasi perdagangan karbon melalui bursa karbon di Indonesia.

Adapun dalam Zero Carbon Forum, Warta Ekonomi juga mengundang sejumlah pakar, seperti Dian Kurniasari-Kepala Divisi Strategi Manajemen Risiko KSEI, Trioksa Siahaan-Desk Head dan Desk Riset dan Pengembangan Produk (DRPP) LPPI, Edwin Hartanto-Kepala Unit Pengembangan Carbon Trading dan Inisiatif Baru, Bursa Efek Indonesia (BEI), dan Telisa Aulia Falianti-Staf Ahli BRI Danareksa Sekuritas.