Jenis stem cell yang digunakan umumnya adalah mesenchymal stem cell (MSC) yang berasal dari sumsum tulang, tali pusat, atau jaringan lemak. MSC dipilih karena minim risiko penolakan.
Menariknya, kata dr. Danny, stem cell tidak hanya bermanfaat pada pasien stroke akut, tetapi juga pada pasien yang sudah berada di fase subakut maupun kronis.
“Penelitian menunjukkan pasien stroke pada fase subakut maupun kronis masih bisa mendapat manfaat. Meskipun cacatannya sudah ada, terapi stem cell terbukti memberikan perbaikan fungsional maupun motorik,” kata dr. Danny.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sumber stem cell bisa berasal dari dua pendekatan, yakniAutologous transplant (auto transplant), dari tubuh pasien sendiri. Dan, Allogeneic transplant (allo transplant), dari donor lain yang bisa diproduksi massal sehingga lebih cepat diaplikasikan.
“Auto transplant idealnya lebih baik karena berasal dari tubuh pasien sendiri, namun prosesnya lebih lama. Sementara allo transplant bisa lebih praktis untuk kasus yang membutuhkan penanganan cepat,” ungkapnya.
Optimisme dan Arah Masa Depan
Dr. Danny mengingatkan bahwa teknologi stem cell masih terus berkembang sejak pertama kali berhasil dikembangkan oleh James Thomson di University of Wisconsin-Madison pada 1998.
“Kita berangan-angan, sel apapun yang rusak bisa digantikan dari stem cell. Banyak sekali uji klinis tentang stem cell, dan sebagian besar menunjukkan hasil signifikan dibandingkan dengan terapi konvensional, meski memang belum menjadi standar global,” jelasnya.
Sebagai Ketua Tim Stem Cell di Siloam, ia menegaskan misinya sederhana, yakni mempercepat akses pasien saraf terhadap terapi yang berpotensi mengubah hidup mereka.
“Saya dipilih untuk memimpin tim stem cell di Siloam dengan tujuan sederhana, yaitu memberikan pelayanan yang paling optimal bagi pasien saraf. Kalau kita menunggu sampai terapi ini distandardisasi secara global, akan terlalu lama, sementara banyak pasien stroke dan penyakit saraf lain yang sudah menunggu pertolongan,” tutup dr. Danny.