Di balik megahnya Lapangan Golf Pondok Indah yang kini berdiri sebagai simbol prestise Jakarta, tersimpan kisah tentang cinta, luka, dan keikhlasan dari sang maestro properti Indonesia, Ciputra. Kisah ini bukan sekadar tentang pembangunan lapangan golf, melainkan tentang bagaimana seorang pemimpi harus melepaskan sesuatu yang paling ia cintai demi sesuatu yang lebih besar, yakni integritas dan ketulusan hati.

Ciputra tumbuh dalam kemiskinan. Ia kecil bertelanjang kaki ke sekolah, tidur di rumah sederhana di Sulawesi Utara, dan hidup bersama sang ibu setelah ayahnya meninggal dunia. Namun, dari situ ia bermimpi besar, hingga akhirnya diterima di Institut Teknologi Bandung dan memulai perjalanan panjangnya sebagai arsitek dan pengusaha.

Kepercayaan besar awalnya datang dari Gubernur Soemarno Sosroatmodjo yang menunjuknya untuk membangun kembali Pasar Senen. Dari proyek itu, karier Ciputra melejit. Tapi, dari sekian banyak proyek prestisius yang pernah ia kerjakan, ada satu yang paling ia cintai, yakni proyek Lapangan Golf Pondok Indah.

Baca Juga: Filosofi Sukses Ciputra di Balik Ciputra Group: Jangan Pernah Kejar Kekayaan

“Saya ikut memunguti batu dan menyusunnya untuk jalan setapak. Itulah proyek yang paling saya cintai,” kata Ciputra dalam buku autobiografinya.

Ciputra tak hanya membangun fisik lapangan itu, ia menaruh jiwanya di sana. Letaknya yang tak jauh dari rumahnya membuat ia mengawasinya hampir setiap hari. Saat lapangan itu menjadi tuan rumah World Cup Golf tahun 1983, turnamen internasional pertama di Asia bangga bukan main. Dunia menoleh ke Indonesia, dan Ciputra adalah bagian dari sejarah itu.

Namun, kisah manis itu tak berlangsung lama. Datanglah seorang tokoh berkuasa yang ingin mengambil alih kendali. Ciputra ditantang secara politik dan bisnis. Merasa tak lagi diberi ruang, ia memilih mundur.

Baca Juga: Dari Mimpi Jadi Mahakarya, Kisah Perjalanan Ciputra Membangun ‘Orchard Road’ Jakarta

“Saya tidak diinginkan lagi. Karena itu saya mengundurkan diri. Rasanya seperti seorang ayah yang kehilangan anaknya. Anak yang paling dia cintai. Tapi, saya memilih untuk tidak bertengkar, tidak memusuhi siapa pun,” ucapnya lirih.

Ia sempat menyimpan rasa kecewa, namun kemudian memilih berdamai.

"Saya memaafkan. Saya belajar melihat sesuatu yang indah dari peristiwa itu,” ujarnya.

Dari luka itu, Ciputra justru tumbuh lebih besar. Ia membangun lima lapangan golf lain di BSD, Pantai Indah Kapuk, Surabaya, hingga Phnom Penh, Kamboja. Bagi Ciputra, kehilangan satu bukan akhir segalanya. Ia justru menciptakan yang lebih banyak, lebih indah.

“Saya kehilangan satu, tapi membangun lima,” katanya tegas.

Baca Juga: Kisah Ciputra Membangun Citraland Sambil Mencetak Pemimpin Tangguh dari Keluarga

Bertahun-tahun kemudian, Tuhan seperti mempertemukannya kembali dengan cinta lamanya. Tim pengelola yang dulu pernah bekerja bersamanya kembali dipercaya mengelola Pondok Indah. Ciputra diangkat sebagai penasihat.

“Saya kembali ke lapangan yang dulu saya tinggalkan. Rasanya seperti pulang,” katanya penuh makna.

Kini, Lapangan Golf Pondok Indah berdiri kokoh. Meski sempat kesulitan secara finansial, ia bangkit, kemudian utang-utang lunas. Kegiatan turnamen rutin kembali bergulir. Ciputra memang tak lagi ada di posisi depan, namun warisan semangat dan ketulusannya masih terasa.