Di balik gemilang prestasi para atlet bulu tangkis Indonesia, terselip sebuah cerita perjuangan yang luar biasa. Bukan hanya soal keringat di lapangan, tetapi juga tentang dedikasi, idealisme, dan semangat tanpa henti dari seorang tokoh besar, yakni Ir. Ciputra, Founder Ciputra Group sekaligus tokoh sentral di balik lahir dan berkembangnya PB Jaya Raya, salah satu klub bulu tangkis paling berprestasi di tanah air.
Dalam buku biografinya Ciputra: The Entrepreneur, The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, Ciputra pun menceritakan bahwa PB Jaya Raya sendiri tidak langsung berdiri sebagai klub besar.
Menurutnya, masa-masa awal PB Jaya Raya justru dipenuhi keterbatasan, terutama dalam hal dana. Namun, alih-alih menyerah atau membiarkan kondisi itu menjadi penghambat, Ciputra memilih untuk menyalakan api semangat. Ia percaya bahwa keterbatasan bukanlah alasan untuk berhenti.
"Kami melewati masa-masa sulit karena ketiadaan dana yang cukup. Tapi saya tidak menjadikan situasi itu sebagai sesuatu yang stuck. Saya memberikan nutrisi dalam bentuk semangat tiada henti," kenang Ciputra, sebagaimana dikutip Olenka, Kamis (7/8/2025).
Saat itu, Ciputra mengaku tak segan untuk langsung menghubungi para atlet dan pelatih, serta memberi mereka dorongan mental menjelang pertandingan. Di balik layar, ia juga berjuang agar PT Pembangunan Jaya dan rekan-rekannya terus mendukung PB Jaya Raya secara finansial. Perlahan namun pasti, benih perjuangan itu mulai tumbuh.
Ciputra melanjutkan, pasang surut pun jadi bagian dari setiap perjalanan PB Jaya Raya. Namun berkat kegigihan dan konsistensinya, PB Jaya Raya akhirnya melahirkan nama-nama besar yang mengharumkan Indonesia di panggung dunia.
Sebut saja Imelda Wigoena dan Christian Hadinata yang menorehkan sejarah sebagai juara dunia di sektor ganda campuran. Imelda kembali berjaya di SEA Games 1985 bersama Rosiana Tendean.
Dan tentu, siapa yang bisa melupakan momen haru ketika Susy Susanti meraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992, prestasi luar biasa yang membuat seluruh bangsa bangga.
"Ketika ia menangis menatap bendera merah putih dinaikkan, hati saya benar-benar dipenuhi gelombang haru. Saya menangis," ujar Ciputra.
Tak berhenti di sana, medali emas terus berdatangan. Ganda putra Candra Wijaya dan Tony Gunawan di Olimpiade Sydney 2000, serta Markis Kido dan Hendra Setiawan di Olimpiade Beijing 2008, menjadi bukti bahwa PB Jaya Raya adalah lumbung juara dunia.
Bagi Ciputra, olahraga bukan sekadar kemenangan. Lebih dari itu, olahraga adalah jalan untuk menempa karakter, membentuk manusia yang tahan banting, berintegritas, dan mampu mengendalikan diri.
"Saya tidak ingin para pemain menjadi pemenang karena iming-iming hadiah atau gelegar pujian. Yang lebih saya inginkan adalah mereka terbentuk menjadi manusia yang selalu mampu memacu hal terbaik di diri mereka. Itulah sumbangsih terbaik olahraga pada diri kita,” paparnya.
Karenanya, Ciputra pun aktif terlibat dalam pembinaan, meniupkan semangat pada para atlet, pelatih, dan pengurus. Baginya, kemenangan adalah bonus dari perjuangan menaklukkan ego dan mengolah potensi diri semaksimal mungkin.
Mengelola sebuah klub olahraga, menurut Ciputra, tak jauh berbeda dengan membangun perusahaan. Dibutuhkan disiplin, inovasi, dan semangat kewirausahaan.
Para legenda seperti Rudy Hartono, Retno Kustiyah, Imelda Wigoena, Lanny Tedjo, dan almarhumah Minarni terus diberdayakan agar semangat perbaikan dan pembinaan tak pernah padam.
Kini, PB Jaya Raya berdiri kokoh dengan fasilitas modern di Bintaro Jaya. Gedung pusat pelatihannya megah, lengkap dengan asrama, enam belas lapangan indoor, ruang latihan fisik, dan sarana lainnya. Semua itu adalah buah dari konsistensi dan kecintaan seorang Ciputra pada dunia olahraga.
"Saya tidak akan pernah berhenti mendukung olahraga dan PB Jaya Raya pada khususnya. Saya berharap sponsor yang telah ada dan PT Pembangunan Jaya terus memberi perhatian pada lembaga ini,” terangnya.
Baca Juga: Kisah Lahirnya PB Jaya Raya: Semangat Nasionalisme Ciputra Membangun Juara dari Nol
Yayasan Jangan Mengemis
Bagi banyak orang, yayasan sosial seringkali identik dengan ketergantungan pada donatur atau anggaran amal. Namun bagi Ciputra, yayasan bukanlah tempat bergantung, melainkan tempat berkembang.
Sebuah wadah yang berdiri dengan kaki sendiri, sekuat dan seteguh perusahaan besar. Dengan semangat wirausaha yang ia bawa sejak lama, Ciputra menciptakan konsep ‘Yayasan Jangan Mengemis’.
"Sebuah yayasan hendaknya bisa segagah dan seberwibawa lembaga bisnis. Penuh kesanggupan. Sukses. Sejahtera. Dan memiliki potensi ke depan yang bisa terus dikembangkan," tegasnya.
Ciputra tidak hanya membangun bisnis properti, tetapi juga menanamkan benih perubahan lewat banyak yayasan. Di bawah Jaya Group, ada Yayasan Pendidikan Jaya, Yayasan Jaya Raya, dan Yayasan Marga Jaya. Di Ciputra Group, berdiri Yayasan Citra Kristus, Yayasan Pendidikan Ciputra, dan Yayasan Ciputra Entrepreneur Artpreneur.
Tak berhenti di situ, ia juga turut menyentuh yayasan-yayasan lain seperti Yayasan Don Bosco, Yayasan Tarumanagara, Yayasan Prasetiya Mulya, dan Yayasan Pondok Indah.
Semua dikelola dengan filosofi yang sama, yakni jiwa entrepreneurship. Ciputra yakin, semangat kewirausahaan bisa membawa dunia pendidikan menuju kemandirian dan kejayaan, bukan ketergantungan.
Dan, salah satu contoh paling menyentuh dari pendekatan Ciputra adalah kisah transformasi Yayasan Tarumanagara, yang menaungi Universitas Tarumanegara (Untar).
Sebelum campur tangannya, kampus tersebut tampak suram dan tertinggal, bangunannya kusam, fasilitas minim, dan tidak mencerminkan semangat belajar di tengah pusat perdagangan Grogol yang sibuk dan makmur.
"Saya tercenung. Bagaimana itu bisa terjadi? Sungguh kontras dengan keadaan sekitar. Bagaimana mungkin di antara kejayaan lokasi itu ada kampus yang buruk rupa?,” ungkap Ciputra.
Tak tinggal diam, Ciputra pun lantas mengadakan pertemuan dengan para pengurus dan staf kampus. Ia mendengar keluh kesah mereka, terutama tentang kesulitan dana. Tak hanya itu, biaya kuliah yang rendah dan seragam untuk semua mahasiswa dianggap sebagai bentuk keadilan, namun justru menjadi penghambat utama perkembangan kampus.
Sontak, Ciputra pun kala itu langsung menawarkan sebuah solusi yang mengandung prinsip keadilan sosial, namun tetap berpijak pada kekuatan ekonomi riil.
"Begini, Saudara-saudara. Jika Anda ingin kampus ini maju, biaya kuliah bisa ditingkatkan. Jangan terlalu murah. Buatlah nilai yang berbeda untuk biaya kuliah dan sesuaikan dengan tingkat ekonomi mahasiswa. Mahasiswa dari keluarga berada diberlakukan biaya kuliah yang tinggi. Sebaliknya, mahasiswa dari keluarga berekonomi lemah mendapat subsidi,” tegas Ciputra kala itu,
Ide Ciputra pun kemudian langsung diterapkan pihak kampus. Hasilnya luar biasa. Yayasan Tarumanegara perlahan mulai bangkit. Fasilitas kampus diperbarui, program akademik dikembangkan, dan aura kampus berubah menjadi lebih hidup dan penuh harapan.
Inilah yang disebut Ciputra sebagai ‘rahasia telur Columbus’ dalam yayasan, yakni sebuah ide sederhana, namun hanya bisa diwujudkan oleh orang yang berani berpikir berbeda.
Melalui prinsip subsidi silang, mahasiswa dari keluarga mampu tidak hanya menerima pendidikan, tapi juga membantu teman-teman mereka yang kurang beruntung. Solidaritas yang dibangun secara sistematis, bukan sekadar amal insidental.
“Yayasan jangan mengemis. Yayasan harus punya keberanian berdiri sendiri, punya semangat wirausaha, dan punya tujuan mulia yang terus diperjuangkan,” tegas Ciputra.
Baca Juga: Keteguhan Iman dan Prinsip Hidup 5D ala Ciputra dalam Menghadapi Sakit dan Ujian
Mewujudkan Mimpi Melalui Jiwa Entrepreneur
Perjalanan perubahan Universitas Tarumanagara (Untar) bukan hanya kisah pengembangan fisik atau penambahan aset. Ini adalah kisah tentang bagaimana mimpi dan semangat entrepreneurship dapat menghidupkan kembali sebuah institusi pendidikan dan menjadikannya mercusuar harapan bagi ribuan mahasiswa.
Saat Ciputra dipercaya memimpin Yayasan Tarumanagara, kondisi kampus sangat memprihatinkan. Banyak pihak mengeluhkan minimnya dana untuk pembangunan. Tapi, alih-alih mencari sumbangan atau mengandalkan belas kasihan, Ciputra menawarkan pendekatan yang sangat berbeda, yakni membangun kemandirian.
Salah satu langkah krusial yang ia ambil adalah menerapkan sistem biaya kuliah berjenjang, disesuaikan dengan kondisi ekonomi mahasiswa. Mahasiswa dari keluarga mampu membayar lebih, sementara mereka yang tidak mampu mendapatkan subsidi. Hasilnya? Kas yayasan mulai membaik. Kampus mulai bisa bermimpi lagi.
"Dengan menerapkan biaya kuliah yang berbeda, kas yayasan kemudian beranjak sehat. Tanah di seberang kampus bisa dibeli. Banyak pengembangan bisa dilakukan: membangun kampus baru, menyediakan banyak fasilitas, modernisasi di berbagai elemen, mengirim para dosen untuk studi ke luar negeri, dan menaikkan gaji dosen,” beber Ciputra.
Perlahan tapi pasti, perubahan demi perubahan mulai terlihat. Di tahun 1990-an, citra Untar berubah total. Kampus yang dulunya pucat dan kumuh, kini berdiri megah dan bercahaya. Fasilitas terus bertambah, kualitas pengajaran meningkat, dan setiap fakultas menunjukkan kemajuan yang berarti.
“Saat itu, orang tidak lagi melihat Universitas Tarumanegara sebagai kampus pucat dan kumuh di Grogol. Gedungnya yang mentereng tampak bercahaya. Kemajuan di setiap fakultas juga sangat banyak,” kata Ciputra.
Aset yayasan pun bertumbuh pesat. Kini Untar memiliki dua kompleks kampus di Grogol dengan luas 3,2 dan 3,7 hektare, serta kampus di Jalan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan seluas 2 hektare.
Dijelaskan Ciputra, ini bukan hanya soal pertumbuhan fisik kampus, tapi ini tentang membangun martabat sebuah institusi. Tentang mengubah wajah pendidikan menjadi lebih berwibawa, mandiri, dan berdampak.
Ciputra mengaku, dirinya memegang teguh prinsip bahwa lembaga pendidikan, meski bukan bisnis, tetap harus dikelola dengan semangat entrepreneurship, yang visioner, mandiri, berani mengambil langkah strategis, dan memiliki arah jangka panjang.
"Selama saya memimpin Yayasan Tarumanegara, yang selalu saya tekankan adalah jiwa entrepreneur. Tanpa harus mengacaukan semangat murni pendidikan yang tak boleh bercampur dengan bisnis, sesungguhnya sebuah yayasan bisa menjadi lembaga yang sejahtera bila konsep entrepreneurship dijalankan."
Lebih tegas lagi, ia menyampaikan kritik terhadap mentalitas pasif yang masih sering melekat pada yayasan pendidikan.
"Yayasan jangan jadi wadah pecundang dengan hanya menadahkan tangan meminta bantuan. Sungguh menyedihkan bila yayasan pendidikan berada dalam taraf seperti itu, menanti uluran tangan orang. Apa yang bisa diperbuat untuk memajukan pendidikan?,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Ciputra mengatakan bahwa segala pencapaian yang dirinya raih berakar dari satu hal, yakni mimpi. Namun kata dia, mimpi itu tidak dibiarkan melayang-layang, tapi ia bentuk menjadi kekuatan melalui rumusan pribadi yang ia sebut sebagai 5D.
"Sebuah mimpi, dan memang semua usaha besar saya dimulai dari mimpi yang merupakan proses sukses saya, yaitu 5D: Dream, Desire, Drive, Discipline, Determination. Semoga Tuhan menyertai dan memberkati,” pungkas Ciputra.
Baca Juga: Kisah Perjalanan Jiwa Ciputra: Ditempa Derita, Disentuh Tangan Tuhan