Transisi menuju kendaraan listrik (electric vehicle/EV) kini dipandang sebagai salah satu penggerak utama pertumbuhan ekonomi hijau di Indonesia. Pesan tersebut menjadi benang merah dalam sesi tematik “Memaksimalkan Manfaat Ekonomi dan Sosial dari Transisi Kendaraan Listrik” yang digelar dalam rangkaian Indonesia International Sustainability Forum (IISF) 2025 di Jakarta.
Analisis INDEF menunjukkan hampir 20% pengeluaran nonmakanan rumah tangga di Indonesia dialokasikan untuk kebutuhan kendaraan, mencakup pembelian, perawatan, pajak, dan bahan bakar. Karena itu, transisi EV berpotensi menghadirkan manfaat ganda: menekan biaya mobilitas masyarakat sekaligus mengurangi tekanan fiskal dari subsidi energi konvensional.
“Indonesia kini memasuki tahap di mana hilirisasi tidak lagi hanya soal menambah nilai ekspor, tetapi membangun ekosistem industri yang berkelanjutan dan terintegrasi dari hulu ke hilir. Dari sini, Indonesia memperoleh nilai tambah dan daya saing yang jauh lebih kuat. Ekosistem dalam negeri terbentuk, ekspor meningkat, devisa bertambah, dan lapangan kerja tumbuh—lebih dari 10 ribu tenaga kerja telah terserap dari proyek-proyek yang sudah berjalan. Ke depan, tantangannya adalah memperkuat ekosistem dalam negeri agar manfaat ekonomi ini terus berlipat,” ujar Ahmad Faisal Suralaga, Direktur Strategi dan Tata Kelola Hilirisasi, Kementerian Investasi/BKPM, dikutip Selasa (14/10/2025).
Menanggapi arah kebijakan hilirisasi industri kendaraan listrik, Dimas Muhamad, Deputi Koordinator Sekretariat Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional, menegaskan pentingnya orientasi pada inovasi dan nilai tambah manusia.
“Hilirisasi telah menghasilkan berbagai capaian, teta[i kita tidak boleh berpuas diri. Hilirisasi adalah alat, bukan tujuan. Saat ini, industri baterai Indonesia seolah bertumpu pada kekayaan alam kita khususnya nikel. Ke depannya, harus digerakkan bukan oleh apa yang ada di bawah tanah Indonesia, melainkan inovasi manusia yang berada di atasnya—riset, teknologi, dan kreativitas,” ujarnya.
Sementara itu, potensi manfaat ekonomi dari elektrifikasi transportasi publik ditekankan oleh Gonggomtua Sitanggang, Direktur Asia Tenggara Institute for Transportation and Development Policy (ITDP). “Elektrifikasi bus dapat memberikan manfaat ekonomi yang besar melalui efisiensi biaya operasional hingga 30% dan berpotensi mengurangi subsidi bahan bakar minyak dibanding bus berbahan bakar fosil," ujarnya.
"Penghematan ini memungkinkan kota memperluas cakupan rute dan menambah jumlah armada dan pada akhirnya menurunkan biaya transportasi masyarakat. Namun, manfaat ini hanya dapat tercapai dengan komitmen kuat dari pemerintah, insentif yang tepat dan didukung regulasi yang menekan biaya pengadaan kendaraan,” ungkapnya.
ITDP juga mencatat bahwa penerapan elektrifikasi transportasi publik di kota-kota besar seperti Jakarta dapat memberikan rasio manfaat-biaya (BCR) hingga sebesar 2,4—artinya setiap Rp1 biaya menghasilkan Rp2,4 manfaat ekonomi dan sosial, mulai dari penghematan energi dan biaya perawatan hingga peningkatan kualitas udara dan kesehatan publik.
Elektrifikasi transportasi mencerminkan pergeseran paradigma pembangunan, dari ekonomi berbasis konsumsi energi menuju ekonomi berbasis inovasi dan keberlanjutan. IISF 2025 menjadi ruang bagi kolaborasi lintas pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa transisi energi Indonesia bukan hanya lebih bersih, tetapi juga lebih adil, mandiri, dan menyejahterakan.