Indonesia tengah memasuki babak penting dalam transisi menuju energi baru terbarukan (EBT). Dorongan pemerintah untuk mempercepat pengembangan panel surya dan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) tidak hanya mengubah peta energi nasional, tetapi juga memicu lonjakan permintaan komoditas strategis global, salah satunya perak.
Pemerintah telah menetapkan target ambisius net zero emission 2060 dan menggalakkan program pemasangan panel surya atap, pembangunan PLTS skala besar, serta percepatan adopsi mobil listrik.
Kebijakan ini membuat Indonesia tidak hanya menjadi pasar teknologi hijau, tetapi juga pemain penting dalam rantai pasok komoditas penunjang energi bersih.
Baca Juga: Polytron Resmi Luncurkan Fox 200, Motor Listrik Pertama Khusus Perempuan
“Panel surya dan mobil listrik adalah katalis besar bagi kenaikan permintaan perak dunia. Rata-rata 1 GW panel surya menyerap 10-ton perak, sementara satu unit kendaraan listrik mengandung 25–50-gram perak. Ketika adopsi dua teknologi ini terus meningkat, pasar perak global akan menghadapi tekanan permintaan struktural yang signifikan,” ujar Financial Analyst Finex, Brahmantya Himawan, Senin (6/10/2025) kemarin.
Menurut data global, kapasitas instalasi panel surya telah mencapai lebih dari 550 GW per tahun. Dengan kebutuhan rata-rata 10-ton perak per GW, konsumsi perak dari sektor surya saja dapat mencapai 5.500 ton per tahun.
Ditambah penjualan EV global yang sudah menembus 20 juta unit per tahun, kebutuhan perak dari sektor otomotif dapat menyumbang tambahan 500–1.000 ton per tahun.
Tekanan ini diperparah oleh kondisi pasokan yang stagnan. Meksiko, produsen perak terbesar dunia, dilaporkan menghadapi keterbatasan cadangan dan penurunan produksi dua digit dalam satu dekade terakhir.
Ketika permintaan terus meningkat sementara suplai menipis, harga perak berpotensi mengalami tren naik struktural dalam lima tahun ke depan.
“Selain fungsi tradisionalnya sebagai aset lindung nilai saat krisis, kini perak mendapat dorongan baru dari sektor teknologi hijau. Kombinasi ini bisa menciptakan siklus kenaikan harga jangka panjang. Investor perlu jeli melihat peluang diversifikasi portofolio melalui instrumen berbasis logam mulia,” tutup Brahmantya.