Yanuar Rizky

Sementara itu, ekonom Yanuar Rizky melihat persoalan utama bukan pada siapa pemilik BCA saat ini, melainkan kepastian hukum atas valuasi aset dan mekanisme penjualan saham di masa lalu.

“Kontroversi BLBI-BCA ada di nilai recovery rate di bawah utang pokok obligasi rekap yang disuntikkan ke BCA, akibat rendahnya harga aset dari pemegang saham lama setelah dieksekusi,” jelas Yanuar.

Baca Juga: BCA Selalu Bisa Menjawab Semua Kebutuhan Klien, Apa Rahasianya?

Ia mengingatkan bahwa saat krisis moneter 1997, BCA memang menerima BLBI dalam bentuk obligasi rekap sebesar Rp60 triliun. Namun, aset Grup Salim yang diserahkan kepada pemerintah melalui skema PKPS nilainya diperdebatkan. Price Waterhouse Coopers menilai aset itu hanya Rp20 triliun, sementara konsorsium Danareksa, Bahana, dan Lehman Brothers menilainya Rp51,9 triliun.

Bagi Yanuar, hal tersebut adalah masalah hukum, bukan alasan untuk merampas saham BCA saat ini. Jadi, rasanya kurang tepat jika masalah hukum, namun jalan keluar yang diambil adalah 'merampas' saham BCA.

“Kalau ada bukti perbuatan melawan hukum, perkara ini harus dibawa ke ranah hukum. Tapi kalau investor baru membeli tanpa perbuatan melawan hukum, maka itu sah. Objek pidananya ada pada pemegang saham lama, bukan BCA,” tegasnya.

Ichsanuddin Noorsy

Pandangan serupa disampaikan pengamat hukum dan keuangan daerah, Ichsanuddin Noorsy. Menurutnya, peluang mengambil alih kembali saham BCA saat ini pada prinsipnya sudah tertutup.

Baca Juga: Target Pertumbuhan Ekonomi 5,4 Persen Dihantui Ketidakpastian

“Kalau mengambil alih sudah tertutup peluangnya. Masih ada peluang untuk mengejar kasus-kasus BLBI yang tertunda, tapi bukan pada BCA. Jadi kalau pada BCA sudah tidak bisa lagi, hampir tidak lagi. Mau dibilang skandal, ternyata ada skandal lain,” ujarnya.

Ichsanuddin menekankan bahwa kesalahan besar justru terletak pada kebijakan pemerintah saat krisis 1997 yang memberi keleluasaan konglomerat membangun bank, membebaskan pinjaman dolar, dan kemudian melakukan bailout.

“Jangan jadikan BCA sebagai kambing hitam untuk menutupi kegagalan mengatasi akar masalah sebenarnya,” tambahnya.

Deretan pandangan para ekonom ini memperlihatkan satu benang merah, yakni wacana perampasan saham BCA bukanlah solusi, melainkan ancaman baru bagi stabilitas sistem keuangan Indonesia.

Baca Juga: Hendra Lembong: Kalau Nasabah Bermasalah, Karyawan BCA Siap Tempuh Extra Mile

Alih-alih menghidupkan kembali “hantu” BLBI, para pengamat menilai pemerintah sebaiknya fokus pada penegakan hukum terhadap obligor nakal, memperbaiki tata kelola, dan menciptakan iklim usaha yang adil.

“Langkah terbaik adalah pemerintah tidak meneruskan ide tak masuk akal ini sebelum menjadi bom waktu yang akan menghancurkan masa depan perekonomian Indonesia,” pungkas Eko B. Supriyanto.