Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat sebanyak 113 laporan para pekerja migran sepanjang Desember 2022 hingga Desember 2023.

Ratusan laporan itu berasal dari migran Indonesia yang ditempatkan di Hongkong.  Semuanya mengadukan overcharging atau biaya penempatan berlebih dari perusahaan pemberi kerja.

Baca Juga: TKN Prabowo-Gibran Waspadai Serangan Kubu Lawan Pakai Teknologi Kecerdasan Buatan

Ketua PB2MI Benny Rhamdani menyebut kasus 113 pekerja migran ini melibatkan 30 perusahaan pemberi kerja. Semuanya telah ditindaklanjuti, BP2MI berperan aktif mencari solusi, salah satunya adalah melakukan klarifikasi kepada  perusahaan pemberi kerja serta memediasi pihak-pihak yang terlibat sengketa. 

“Melakukan mediasi antara P3MI (perusahan pemberi kerja) dengan pihak pengadu yang sebagian besar menghadirkan pihak agensi untuk mengklarifikasi terkait komponen biaya apa saja yang ditanggung oleh pemberi kerja untuk penempatan kerja migran Indonesia,” kata Benny dalam konferensi pers yang digelar di kantornya di Kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan Senin (15/1/2023).

Benny mengklaim gerak cepat pihaknya membuat sejumlah kasus ini langsung selesai, sejauh ini sebanyak 70 kasus telah tuntas. Pihak-pihak yang terlibat lanjut Benny telah menyepakati sejumlah poin penting. 

Salah satu poin yang telah disetujui kedua belah pihak adalah pengembalian kelebihan proses penempatan, perusahaan penyalur tenaga kerja juga menyetujui hal itu, semua kesepakatan itu kata Benny  telah tertuang dalam berita acara. 

“Yang kedua adalah pengalihan hutang dari para pekerja migran Indonesia kepada P3MI sehingga segala bentuk tagihan kepada para pekerja migran dihentikan oleh lembaga keuangan,” ucapnya.

Benny melanjutkan, untuk kasus-kasus yang belum beres, pihaknya memang menemui sejumlah kendala dalam proses penyelesaian sengketa.

Baca Juga: Grace Natalie Beberkan Alasan Pendukung Jokowi Lebih Pilih Prabowo-Gibran

Baca Juga: Alam Ganjar Beberkan Kunci Sukses Generasi Muda di Masa Depan: Fokus dan Konsisten!

Salah satu rintangan yang bikin 43 kasus sisanya ini mandek adalah putusnya komunikasi BP2MI dengan pihak pengadu.  Komunikasi mereka putus lantaran pihak pengadu mengganti nomor telepon setelah tiba di negara penempatan. 

“Pekerja migran sebagai pihak pengadu tidak dapat dihubungi guna tindak lanjut pengaduan.  Rata-rata pekerja migran kalau sudah di luar negeri itu ganti nomor HP,”  ucapnya. 

Selain terkendala komunikasi, kasus ini mandek lantaran tak ada waktu mediasi yang pas lantaran kedua belah pihak yang bersengketa tidak bisa hadir dalam waktu yang bersamaan.

“Sulitnya mendapat kesediaan jadwal  mediasi dari para pihak, khususnya pekerja migran karena harus tetap bekerja. Kita menjadwalkan mediasi, pihak A siap hari ini, tapi pihak B tidak,” tutupnya.