Kereta Cepat Jakarta-Bandung alias Whoosh belakangan menjadi buah bibir masyarakat setelah polemik antara Kementerian Keuangan dan Danantara terkait pembayaran utang proyek tersebut ramai disorot media. Whoosh semakin disorot publik setelah dugaan korupsi dengan modus penggelembungan dana mengemuka. 

Sebagai gambaran whoosh menelan anggaran US$7,27 miliar atau Rp120,7 triliun. Anggaran itu sudah termasuk cost overrun atau pembengkakan biaya sebesar US$1,21 miliar (Rp20 triliun) dari nilai investasi awal US$6,05 miliar (Rp100,4 triliun).

Baca Juga: Membandingkan Biaya Proyek Whoosh dengan Kereta Cepat Arab Saudi yang 10 Kali Lipat Lebih Panjang

Dana tersebut sebagian besar berasal dari pinjaman luar negeri. Sekitar 75 persen pembiayaan proyek disokong oleh utang dari China Development Bank (CDB) dengan bunga 2–3,4 persen dan tenor selama 45 tahun.

Untuk membayar bunga utang saja, pemerintah harus menyetorkan sekitar Rp2 triliun per tahun, angka yang memperlihatkan betapa beratnya beban keuangan proyek yang digadang sebagai simbol modernisasi transportasi nasional tersebut. 

Dengan anggaran jumbo tersebut, sebagian publik menganggap whoosh adalah proyek rugi, proyek yang hanya menguras anggaran negara. Bahkan ada yang sampai  menganggap whoosh tak lebih dari proyek akal-akalan saja yang hanya  menguntungkan segelintir orang saja. 

Terlepas dari baik buruknya penilaian publik, Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) mengatakan Whoosh yang ia garap selama menjabat kepala negara bukanlah proyek rugi. 

Menghitung untung rugi transportasi massal kata Jokowi tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja. Keuntungan kata dia tak melulu soal laba dalam bentuk uang, tetapi itu mencakup beberapa hal termasuk keuntungan dari segi sosial. 

"Transportasi umum tidak diukur dari laba, tetapi dari keuntungan sosial. Misalnya pengurangan emisi karbon, produktivitas masyarakat meningkat, polusi berkurang, waktu tempuh lebih cepat," kata Jokowi dilansir Selasa (28/10/2025).

Jokowi mengatakan, salah satu tujuan Whoosh adalah mengatasi kemacetan di Jakarta dan kawasan Jabodetabek dan sekitarnya, kemacetan di Jakarta dan sekitarnya sejak lebih dari 20 tahun lalu lanjut Jokowi telah membawa kerugian besar bagi masyarakat secara pribadi juga kerugian negara.

Dengan membangun whoosh, yang didukung oleh moda transportasi massal lainya seperti MRT, LRT, KRL, dan kereta bandara kerugian itu diklaim sudah bisa ditekan pelan-pelan seiring meningkatnya pengguna transportasi publik yang terus bertambah. 

"Di Jakarta itu kemacetannya sudah parah. Ini sudah sejak 30, 40, 20 tahun yang lalu. Jabodetabek termasuk Bandung juga kemacetannya parah. Dari kemacetan itu negara rugi sekitar Rp 100 triliun per tahun," tuturnya. 

Jokowi menekankan, semua proyek transportasi massal menghasilkan social return on investment. Artinya, keuntungan sosial yang diperoleh jauh lebih besar daripada sekadar hitungan finansial, termasuk mengurangi kemacetan dan kerugian ekonomi akibat macet, mempercepat waktu tempuh masyarakat, mengurangi polusi dan emisi karbon, dan meningkatkan produktivitas masyarakat.

Baca Juga: Gelar Razia Impor Pakaian Bekas, Purbaya: yang Menolak Saya Tangkap Duluan

"Subsidi Rp 800 miliar per tahun dari Lebak Bulus sampai Hotel Indonesia, diperkirakan Rp 4,5 triliun bila semua rute selesai. Itu adalah investasi sosial, bukan kerugian," pungkasnya.