Namun kenyataannya, tren awal tahun 2025 menunjukkan sinyal yang tidak menggembirakan. Data penerimaan pajak per Maret 2025 hanya mencapai Rp320 triliun atau sekitar 14,7% dari target tahunan.
Padahal, menurut Ajib, idealnya pada bulan Maret, penerimaan pajak sudah menyentuh angka 20% agar memiliki daya ungkit untuk mencapai target tahunan.
“Tapi kalau kita kritisi bahwa pada bulan Maret 2025 ini faktanya penerimaan pajak hanya kisaran 14,7%, setara dengan Rp320 triliun, sangat jauh dari ideal,” tukas Ajib.
Artinya, kata Ajib, ketika pemerintah tidak membuat terobosan-terobosan yang bersifat strategis, maka kita proyeksikan penerimaan pajak di agregat sampai akhir tahun itu akan shortfall bahkan lebih dari Rp100 triliun.
“Kalau tren ini berlanjut, kita bisa memproyeksikan shortfall penerimaan pajak di akhir tahun bisa lebih dari Rp100 triliun,” sambungnya.
Situasi ini menjadi lebih rumit mengingat belanja pemerintah tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp3.600 triliun, dengan sebagian besar ditopang oleh utang sekitar Rp600 triliun.
Dikatakan Ajib, jika penerimaan pajak kembali meleset dari target, pemerintah hanya memiliki dua opsi, yakni memangkas belanja kementerian/lembaga atau menambah utang.
“Solusinya, satu mengurangi belanja dari kementerian atau lembaga, yang kedua adalah menambah porsi utang,” tegasnya.
Ajib menekankan bahwa opsi menambah utang pun tidak sederhana. Dalam tiga tahun ke depan, yakni 2025, 2026, dan 2027, Indonesia akan menghadapi tekanan fiskal berat akibat jatuh tempo utang yang mencapai lebih dari Rp800 triliun per tahun, dampak lanjutan dari kebijakan ekspansif saat pandemi.
Ia pun menegaskan, situasi ini menuntut pemerintah Prabowo-Gibran untuk bergerak cepat dan strategis.
Tanpa langkah nyata dalam memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan, risiko fiskal bisa membayangi stabilitas ekonomi nasional dalam jangka menengah.
Baca Juga: Ajib Hamdani: Impor Bebas Perlu Strategi dan Mitigasi Risiko yang Matang