Di era pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, tantangan fiskal Indonesia langsung dihadapkan pada target ambisius dalam sektor perpajakan.

Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, menilai bahwa arah kebijakan fiskal pada 2025 cukup berat dan penuh tekanan, terutama dalam hal pencapaian penerimaan pajak.

“Kalau kita lihat bagaimana kebijakan fiskal di Indonesia itu sangat challenging. Target perpajakan di Indonesia pada tahun 2025 itu tidak kurang dari Rp2.180 triliun. Itu di luar cukai dan di luar penerimaan negara bukan pajak,” ungkap Ajib, saat ditemui Olenka, belum lama ini.

Menurut Ajib, target tersebut mengalami kenaikan sekitar 12% dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak tahun 2024 yang hanya mencapai sekitar Rp1.920 triliun, bahkan mengalami shortfall sekitar Rp50 triliun dari target yang ditetapkan.

“Kalau kita breakdown penerimaan tahun 2024 hanya kisaran angka di angka Rp1.920 triliun, angka itu shortfall Rp50 triliun dari target yang ada,” ujar Ajib.

Kondisi ini diperburuk oleh situasi makroekonomi yang kurang mendukung. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi yang relatif konservatif di kisaran 5%, sementara pada saat yang sama menetapkan target pertumbuhan penerimaan pajak sebesar 12%.

Ia pun lantas mendorong pemerintah melakukan terobosan-terobosan positif demi mencapai target penerimaan pajak pada tahun 2025 ini.

“Seharusnya pemerintah membuat terobosan-terobosan yang positif dan memberikan daya dukung terhadap ekonomi, sehingga penerimaan pajak bisa kembali tercapai di tahun 2025,” jelas Ajib.

Baca Juga: Mengenal Sosok dan Perjalanan Karier Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani

Namun kenyataannya, tren awal tahun 2025 menunjukkan sinyal yang tidak menggembirakan. Data penerimaan pajak per Maret 2025 hanya mencapai Rp320 triliun atau sekitar 14,7% dari target tahunan.

Padahal, menurut Ajib, idealnya pada bulan Maret, penerimaan pajak sudah menyentuh angka 20% agar memiliki daya ungkit untuk mencapai target tahunan.

“Tapi kalau kita kritisi bahwa pada bulan Maret 2025 ini faktanya penerimaan pajak hanya kisaran 14,7%, setara dengan Rp320 triliun, sangat jauh dari ideal,” tukas Ajib.

Artinya, kata Ajib, ketika pemerintah tidak membuat terobosan-terobosan yang bersifat strategis, maka kita proyeksikan penerimaan pajak di agregat sampai akhir tahun itu akan shortfall bahkan lebih dari Rp100 triliun.

“Kalau tren ini berlanjut, kita bisa memproyeksikan shortfall penerimaan pajak di akhir tahun bisa lebih dari Rp100 triliun,” sambungnya.

Situasi ini menjadi lebih rumit mengingat belanja pemerintah tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp3.600 triliun, dengan sebagian besar ditopang oleh utang sekitar Rp600 triliun.

Dikatakan Ajib, jika penerimaan pajak kembali meleset dari target, pemerintah hanya memiliki dua opsi, yakni memangkas belanja kementerian/lembaga atau menambah utang.

“Solusinya, satu mengurangi belanja dari kementerian atau lembaga, yang kedua adalah menambah porsi utang,” tegasnya.

Ajib menekankan bahwa opsi menambah utang pun tidak sederhana. Dalam tiga tahun ke depan, yakni 2025, 2026, dan 2027, Indonesia akan menghadapi tekanan fiskal berat akibat jatuh tempo utang yang mencapai lebih dari Rp800 triliun per tahun, dampak lanjutan dari kebijakan ekspansif saat pandemi.

Ia pun menegaskan, situasi ini menuntut pemerintah Prabowo-Gibran untuk bergerak cepat dan strategis.

Tanpa langkah nyata dalam memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan, risiko fiskal bisa membayangi stabilitas ekonomi nasional dalam jangka menengah.

Baca Juga: Ajib Hamdani: Impor Bebas Perlu Strategi dan Mitigasi Risiko yang Matang