Mengapa RSV Jarang Terdeteksi di Indonesia?

Di Indonesia sendiri, kata Prof. Rina, RSV kerap menjadi ‘penyakit yang tak terlihat’, bukan karena langka, tetapi karena sulit terdeteksi. Biaya pemeriksaannya yang tinggi membuat banyak keluarga tidak mampu menjangkaunya.

Prof. Rina menjelaskan bahwa di rumah sakit swasta, satu kali tes RSV bisa menelan biaya hingga jutaan rupiah.

“Pemeriksaan RSV bisa 3 juta sampai 4,5 juta. BPJS tidak menanggung, asuransi banyak yang tidak mau. Jadi bagaimana mau tahu kalau tidak diperiksa?,” tuturnya.

Situasi ini membuat banyak kasus pneumonia sebenarnya terlewatkan dan disamakan dengan batuk pilek biasa. Padahal, di balik gejala yang tampak ringan, infeksi RSV bisa berkembang menjadi kondisi yang mengancam nyawa, terutama pada bayi prematur.

Masalahnya pun semakin pelik karena RSV memiliki pola musiman yang jelas. Kata Prof. Rina, setiap tahun, infeksinya mulai merayap naik sejak Oktober, kemudian memuncak pada November dan Desember, dan kembali tinggi pada Januari hingga Maret.

“Sekarang November 2025. Dari Januari sampai Mei sempat turun, tapi November muncul lagi. RSV ada, tapi tidak ketahuan karena tidak diperiksa,” kata Prof. Rina.

Bagaimana Negara Lain Melindungi Bayi Prematur dari RSV?

Dikatakan Prof. Rina, negara maju seperti Jepang, Singapura, dan Australia sudah memiliki sistem perlindungan yang kuat.

“Di negara mereka, setiap bayi prematur yang pulang rumah sakit langsung disuntik menjelang musim RSV. Yang bayar? Pemerintah,” ungkapnya.

Berbeda dengan Indonesia yang masih berjuang soal pendanaan.

“Di kita? Enggak. Senang banget kalau ada yang mau bayar sendiri. Sekarang tugas kami bagaimana bikin rekomendasi, tapi stunting saja masih repot,” keluh Prof. Rina.

Menurut Prof. Rina, saat ini tersedia imunisasi pasif (monoklonal antibodi) untuk mencegah RSV pada bayi berisiko tinggi.

“Sudah ada di Indonesia. Tapi masalahnya siapa yang bayar. Idealnya bayi prematur dulu yang dibantu, karena mereka paling berisiko,” kata Prof. Rina.

Baca Juga: Memahami Respiratory Syncytial Virus (RSV) dari Perspektif Prof. dr. Cissy Rachiana Sudjana Prawira