Setiap 17 November, dunia memperingati Hari Prematur Sedunia. Dua hari setelahnya, 19 November, diperingati sebagai Hari Pneumonia. Kedua momentum ini saling berkaitan erat, terutama di Indonesia, negara dengan jumlah bayi prematur tertinggi kelima di dunia.
Menurut Prof. Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp.A, Subsp. Neo., Dokter Spesialis Anak Subspesialis Neonatologi, peringatan ini bukan sekadar seremoni.
“Perayaan Hari Prematur Sedunia ini bukan buat hura-hura. Tapi, buat mengingatkan bahwa bayi prematur itu punya hak untuk hidup. Kata siapa bayi prematur itu cepat mati? Mereka bisa tumbuh baik, bisa menjadi bagian dari generasi emas 2045,” tegas Prof. Rina, saat sesi edukasi bertajuk 'Kenali RSV, Selamatkan Bayi Berisiko Tinggi', yang digagas AstraZeneca Indonesia, di The Westin, Jakarta, Kamis (20/11/2025).
Apa Itu Prematur dan Mengapa Berisiko Tinggi?
Masyarakat sering mengira bayi prematur berarti bayi kecil. Namun, Prof. Rina meluruskan, prematur ditentukan oleh usia kehamilan, bukan ukuran tubuh.
“Kalau usia kehamilan kurang dari 37 minggu, itu prematur. Di Indonesia ada yang lahir di usia 24 minggu, berat hanya 400 gram. Semakin muda, semakin berat tantangannya,” jelasnya.
Dipaparkan Prof. Rina, pada masa kehamilan hingga usia dua tahun, terdapat fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan, periode kritis pertumbuhan otak dan organ. Jika periode ini tidak dijaga, risikonya fatal.
“Bayi besar sekalipun kalau dicuekin, dia akan menjadi stunting, otaknya kecil, pendek, bodoh. Kuncinya adalah perhatian, tapi perhatian itu harus dengan aksi, seperti kasih makan bergizi, cegah infeksi, rawat dengan benar,” tuturnya.
Lebih lanjut, Prof. Rina memaparkan bahwa angka bayi prematur di Indonesia ini mengejutkan.
“Indonesia juara kelima dunia. 675 ribu bayi prematur lahir setiap tahun. Dalam 10 tahun hampir 7 juta; 20 tahun berarti 14 juta,” jelas Prof. Rina.
Menurutnya, tidak semuanya hidup, dan yang hidup sering menghadapi risiko kesehatan seumur hidup seperti gangguan tumbuh kembang, disabilitas, hingga kerentanan infeksi berat seperti Respiratory Syncytial Virus (RSV).
RSV, Virus yang Dianggap ‘Batuk Biasa’ Padahal Bisa Mematikan
Dikatakan Prof. Rina, RSV kerap disalahpahami sebagai infeksi ringan. Namun, kenyataannya berbeda, terutama pada bayi prematur.
“Orang pikir, kalau cuma batuk pilek itu biasa. Padahal kalau sudah sesak, demam tinggi, muntah, tidak mau makan, itu bukan selesma biasa. Itu pneumonia. Dan pneumonia harus dirawat. Tidak mungkin dokter suruh pulang,” kata Prof. Rina.
RSV, lanjut Prof. Rina, adalah salah satu penyebab utama pneumonia pada bayi. Pada prematur, risikonya berlipat karena daya tahan tubuh rendah dan paru-paru belum matang.
“Kalau bayi prematur kena RSV, setengah hidup setengah mati. Kalau kena di usia kurang dari satu tahun, lebih gawat lagi,” ujarnya.
Menurut Prof. Rina, RSV juga dapat menyebabkan kerusakan paru permanen.
“Tadinya tidak punya bakat asma, gara-gara RSV jadi asma. Makanya seluruh dunia takut RSV,” tegasnya.
Baca Juga: Mengenal RSV: Langkah Penting Menyelamatkan Bayi Prematur dari Risiko Infeksi Berat