Pembasan revisi Undang-undang TNI menuai kecaman berbagai pihak sebab revisi UU tersebut dikahwatirkan hanya memuluskan Dwi fungsi TNI sebagaimana yang terjadi pada era Orde Baru, dimana TNI dibeiri sejumlah posisi strategis di pemerintahan yang membut mereka menjadi super power.

Protes terhadap revisi UU TNI semakin menjadi setelah sejumlah anggota Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menerobos rapat tertutup pembahasan UU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu malam (16/3/2025). 

Baca Juga: Wapres Gibran Ucapkan Terima Kasih pada TNI-Polri dalam Wujudkan Natal yang Aman

Sejauh ini, gelombang protes terus berdatangan dari sejumlah organisasi, total sudah ada 34 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG) yang menyatakan keberatan mereka terhadap revisi UU TNI. 

Mereka kompak menilai UU TNI dinilai tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional.

"Draf revisi ini dinilai bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT)," demikian bunyi salah satu poin keberatan HRWG dilansir Senin (17/3/2025). 

Adapun alasan yang melatarbelakangi DPR dan pemerintah ngotot merevisi UU tersebut adalah untuk melibatkan TNI dalam berbagai pembangunan dan keamanan dalam negeri. 

Namun menurut HRWG alasan itu justru mengabaikan prinsip pemisahan fungsi militer-sipil. Hal ini juga kontras dengan  prinsip-prinsip dasar PBB tentang peran militer, yang ditegaskan kembali dalam rekomendasi UPR 2017.

Tak hanya itu, kelompok ini juga memandang revisi UU TNI bertentangan dengan rekomendasi dari Komite HAM PBB tahun 2023 yang isinya menuntut Indonesia mengakhiri imunitas TNI, mengadili pelanggaran HAM di pengadilan sipil, dan menghentikan operasi militer berlebihan di Papua.

Kemudian, HRWG juga menilai RUU TNI telah melanggar Universal Periodic Review 2022 yang merekomendasikan penghapusan bisnis militer dan pembatasan peran TNI hanya untuk ancaman eksternal.

HRWG juga melihat ada potensi kembalinya dwi fungsi TNI seperti di zaman Orde Baru. Semisal mereka melihat pelbagai pasal revisi UU TNI melegalkan intervensi TNI dalam urusan sipil seperti program TNI Manunggal Membangun Desa dan operasi keamanan domestik.

"Mengembalikan praktik dwi fungsi yang menjadi ciri represif Orde Baru. Padahal, UU No. 34/2004 telah membatasi peran TNI hanya untuk pertahanan eksternal. Dwi fungsi terbukti menjadi akar pelanggaran HAM, korupsi, dan kontrol militer atas politik sipil pada masa lalu," bunyi keterangan HRWG.

Kumpulan organisasi sipil juga menilai revisi UU TNI terlampau dipaksakan sehingga hal ini dikhawatirkan bakal berdampak buruk buat Indonesia di berbagai organisasi internasional seperti konsekuensi di pelbagai forum HAM PBB, termasuk sanksi diplomatik. 

Baca Juga: Orang Dekat Prabowo Jawab Desas-desus Mundurnya Menkeu Sri Mulyani, Simak Baik-baik!

Atas dasar berbagai alasan tersebut, HRWG menuntut DPR dan pemerintah menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang cacat prosedur dan bertentangan dengan rekomendasi CCPR/UPR.

"Bentuk panitia independen untuk meninjau ulang draf dengan melibatkan Komnas HAM, korban pelanggaran HAM, dan masyarakat sipil," bunyi tuntutan HRWG.