Rasio elektrifikasi nasional Indonesia telah mencapai 99,83 persen hingga akhir 2024. Sementara itu, Rasio Desa Berlistrik (RDB) tercatat menyentuh angka 99,92 persen. Meski capaian ini menunjukkan kemajuan signifikan dalam penyediaan akses listrik, tantangan pemerataan energi di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal) masih menjadi fokus utama pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, indeks ketersediaan infrastruktur ketenagalistrikan nasional mencapai 97,87 persen. Namun, keterbatasan infrastruktur dasar, medan geografis yang sulit dijangkau, serta lambatnya pengembangan energi terbarukan menjadi hambatan dalam mewujudkan transisi energi secara merata.
Baca Juga: Inovasi Terbaru Sensodyne: Pasta Gigi Perlindungan Ganda Cegah Gigi Berlubang & Sensitif
Di sisi lain, ketergantungan pada energi fosil yang masih dominan turut memperlambat laju pencapaian target transisi energi bersih menuju Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Tantangan-tantangan ini menjadi pengingat bahwa elektrifikasi bukan semata soal pencapaian angka statistik, tetapi tentang mewujudkan sistem energi yang inklusif, tangguh, dan berpihak pada masa depan berkelanjutan.
Sebagai bagian dari upaya mengatasi persoalan tersebut, program Patriot Energi hadir sebagai pendekatan berbasis masyarakat dalam membangun ketahanan energi di desa-desa terpencil. Program ini digagas oleh Kementerian ESDM bersama IBEKA Foundation dan melibatkan anak-anak muda untuk memetakan potensi energi baru terbarukan (EBT) serta mendampingi masyarakat dalam pengelolaan energi lokal. Salah satu pihak swasta yang turut berkontribusi dalam program ini adalah Hitachi Energy Indonesia.
Dalam pemaparannya pada saat briefing kepada peserta didik Patriot Energi, Alif Rizki Batoni, Segment Manager Hitachi Energy yang bertanggung jawab untuk renewables menyatakan bahwa Hitachi Energy telah menghadirkan teknologi microgrid dan Battery Energy Storage System (BESS) di sejumlah wilayah terpencil, seperti Pulau Semau, Pulau Selayar dan Bontang di Kalimantan. Sistem ini memungkinkan integrasi antara pembangkit tenaga surya dan penyimpanan energi dalam baterai, sehingga mampu menyuplai listrik secara stabil, bahkan tanpa bantuan genset diesel pada siang hari. Di Nusa Penida, implementasi teknologi ini memungkinkan penggunaan persen energi terbarukan secara penuh selama beban puncak siang hari.
“Sebagai negara kepulauan, Indonesia menghadapi tantangan unik dalam mendistribusikan energi. Solusi microgrid berbasis BESS kami telah terbukti memberikan pasokan energi yang andal di wilayah terpencil untuk mengurangi ketergantungan pada diesel dan memperkuat bauran energi terbarukan,” ungkap Alif menjelaskan.
Dengan sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan sektor industri, elektrifikasi berbasis komunitas dan teknologi microgrid diyakini dapat mempercepat pemerataan akses energi, sekaligus memperkuat fondasi menuju transisi energi berkelanjutan.
Hitachi Energy memiliki lebih dari 300 tenaga kerja di Indonesia serta fasilitas produksi dan pusat pengembangan perangkat lunak. Perusahaan ini juga mendukung target pemerintah dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 yang mencanangkan pengembangan 42,6 gigawatt (GW) pembangkit EBT, termasuk 10,3 GW sistem penyimpanan energi.