Asia Tenggara memiliki prospek menjanjikan untuk energi surya. Wilayah ini memiliki potensi teknis sebesar 17 terawatt—lebih dari 20 kali kapasitas yang diperlukan untuk mencapai target emisi nol bersih pada tahun 2050—tetapi kapasitas energi terbarukan saat ini hanya mencapai 99 gigawatt.

Investor iklim berbasis di Asia Tenggara, Helen Wong, Managing Partner di AC Ventures, menerangkan, saat ini investor sudah mulai mengamankan posisi mereka di sektor energi terbarukan di wilayah Asia Tenggara. Sementara itu, sebagai negara terpadat di Asia Tenggara, Indonesia menyumbang 40% dari konsumsi energi wilayah tersebut.

Baca Juga: Jadi Kunci Menangkan Kompetensi, Perlunya Perusahaan Bertransformasi Jadi Data-driven Company

"Keperluan mendesak untuk mengambil tindakan terhadap perubahan iklim sangat jelas, terutama di Asia Tenggara. Melihat Indonesia, secara khusus, sebagian dari masalahnya adalah bahwa secara historis telah terjadi overinvestasi dalam batu bara yang mengakibatkan surplus listrik murah. Dalam hal ini, diskusi JETP (Kemitraan Transisi Energi yang Adil Indonesia) seharusnya dianggap sebagai dorongan bagi investor iklim global," terang Helen, dikutip Selasa (28/5/2024).

Sebagaimana diketahui, Pemerintah Indonesia dan International Partners Group (IPG) meluncurkan Kemitraan Transisi Energi yang Adil Indonesia (JETP Indonesia) di sela-sela KTT G20 di Bali. IPG terdiri dari Pemerintah Jepang dan Amerika Serikat yang merupakan salah satu pemimpin kemitraan ini, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Republik Federal Jerman, Republik Perancis, Norwegia, Republik Italia, Inggris Raya, dan Irlandia Utara.

Diluncurkan pada November 2022, kesepakatan ini bertujuan menghimpun dana awal sebesar US$20 miliar dari pembiayaan publik dan swasta untuk mengurangi emisi sektor energi di Indonesia. Negara tersebut bertekad mempercepat penggunaan energi terbarukan secara domestik dengan target baru-baru ini yang direvisi untuk mencapai 19%-21% energi terbarukan pada tahun 2030.

Sebagian besar dari rencana ini melibatkan pensiun dini dari pembangkit listrik batu bara Indonesia yang saat ini menyumbang sebesar 60% dari campuran energi lokal. Untuk mengatasi kesenjangan produksi yang tak terhindarkan, diperlukan peningkatan investasi energi terbarukan yang agresif dengan target generasi tahunan sebesar 36 gigawatt hanya dari panel surya fotovoltaik, meningkat tujuh kali lipat dari investasi yang tercatat antara tahun 2018 dan 2021.

Helen menambahkan, "Sayangnya, kerangka regulasi di Indonesia masih harus berurusan dengan banyak subsidi yang masih diberikan kepada bahan bakar fosil, terutama batu bara yang saat ini membuatnya cukup sulit bagi energi surya untuk bersaing. PLN, yang mengelola jaringan, adalah satu-satunya pembeli energi surya, dan saat ini, mereka tidak terlalu antusias untuk benar-benar membeli lebih banyak energi surya."