Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir rekening nganggur atau dormant ramai diprotes, kendati lembaga itu beralasan pemblokiran itu sebagai langkah proteksi kejahatan, namun penutupan secara sepihak tanpa persetujuan pemilik rekening dinilai sudah keterlaluan. 

Kali ini protes atas kebijakan itu datang dari Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, dia mengatakan langkah PPATK membekukan rekening nasabah secara sepihak adalah bentuk intervensi yang sudah berlebihan. 

Baca Juga: PPATK Jangan Intimidasi Rakyat Kecil!

Dia mengakui, Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) memang sudah memberikan kewenangan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memblokir rekening dengan indikasi transaksi mencurigakan, namun kewenangan itu  tidak serta-merta bisa dilakukan oleh PPATK. 

"Rekening itu milik konsumen. Pembekuan atau penutupan semestinya tetap harus melalui persetujuan pemilik rekening, kecuali ada indikasi pelanggaran hukum dan dilakukan oleh pihak yang berwenang seperti penyidik, penuntut umum, atau hakim," ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (31/7/2025).

Huda mengatakan, ada banyak alasan yang bisa bikin rekening nganggur dalam jangka waktu tertentu, misalnya saja orang yang baru terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), selama tenggat waktu tertentu rekening mereka bisa saja tidak aktif karena  sedang mencari kerja.

Kritik lain datang dari ketidaksesuaian kebijakan dengan kondisi geografis dan sosial masyarakat Indonesia. Di banyak desa, layanan perbankan masih terbatas. Tidak semua masyarakat memiliki akses ke mesin ATM, merchant digital, ataupun perangkat smartphone.

Dalam kondisi ini, mengharuskan transaksi setiap tiga bulan agar rekening tetap aktif dianggap tidak realistis.

"Jangan sampai masyarakat yang tidak bersalah harus repot mengurus pembukaan kembali rekening karena diblokir secara sepihak. Padahal bisa jadi selama delapan bulan ia belum mendapat pekerjaan. Ketika akhirnya dapat pekerjaan, malah rekeningnya diblokir," ucapnya. 

Lebih lanjut, Huda menekankan bahwa kebijakan ini berpotensi menimbulkan biaya tambahan bagi masyarakat. Biaya tersebut tidak hanya berupa biaya langsung seperti ongkos transportasi dan administrasi pembukaan kembali rekening, tetapi juga biaya tidak langsung berupa terganggunya aktivitas ekonomi akibat tertundanya transaksi.

Ia juga mengingatkan bahwa rekening-rekening yang aktif justru lebih rentan disalahgunakan dalam tindak kejahatan seperti judi online. Sementara rekening pasif yang umumnya tidak berkaitan dengan kejahatan finansial justru dibekukan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kebijakan ini tidak tepat sasaran.

"PPATK memiliki kewenangan untuk meminta bank menunda transaksi yang mencurigakan. Namun, penundaan transaksi berbeda dengan pembekuan rekening. Perlu kehati-hatian agar PPATK tidak melewati batas kewenangannya," tegasnya. 

Terpisah Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Pandjaitan, juga mengeritik keras kebijakan ini.  Menurut politisi Partai Demokrat itu, kebijakan PPATK adalah tindakan intimidatif terhadap rakyat kecil.

"Kalau mau memberantas judi online, ya kejar sindikatnya, jangan intimidasi masyarakat umum. Jangan balas dendam ke rakyat karena tak mampu menembus yang besar," kata Hinca

Hinca mengaku bingung dengan keputusan tersebut, dia bahkan mengatakan pemblokiran rekening nganggur justru menambah masalah baru, dia yakini pemblokiran itu banyak yang salah sasaran, masyarakat yang  tak tahu apa-apa justru terimbas kebijakan serampangan tersebut. 

Baca Juga: Kopdes Merah Putih Berpotensi Menjadi Ladang Korupsi Baru, Prabowo Diminta Segera Susun Petunjuk Teknis yang Transparan dan Inklusif

"Ini menunjukkan PPATK masih berpikir dari kaca mata pemantauan, bukan dari pemahaman. Seolah-olah rakyat kecil tak boleh pasif, harus kelihatan sibuk, harus aktif transaksi," kata dia.