Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN), Mufti Mubarok menentang keras kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang memblokir rekening pasif (dormant).
Menurutnya pemblokiran secara sepihak tanpa persetujuan pemilik rekening adalah tindakan yang berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. selain itu tindakan ini juga dinilai sangat merugikan nasabah.
Baca Juga: PPATK Jangan Intimidasi Rakyat Kecil!
“BPKN menolak kebijakan pemblokiran rekening yang tidak aktif selama tiga bulan. Kebijakan ini sangat rentan menimbulkan kerugian konsumen dan bertentangan dengan asas kepastian hukum dan perlindungan konsumen,” kata Mufti Mubarok kepada wartawan Jumat (1/8/2025).
PPATK sebagai salah satu lembaga keuangan, kata Mufti seharusnya lebih paham dan menjunjung tinggi prinsip transparansi dan akuntabilitas, namun pemblokiran rekening pasif kata dia justru menjadi kebijakan yang menabrak prinsip tersebut. Apapun alasannya, pemblokiran rekening secara sepihak kata dia jelas terhadap hak konsumen atas informasi dan kepastian pelayanan.
"Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, pada Pasal 29 ayat (2) juga disebutkan bahwa bank wajib merahasiakan data nasabah dan memberikan layanan secara adil dan proporsional," tuturnya.
“Konsumen memiliki hak untuk diberitahu secara resmi dan diberi waktu yang cukup untuk mengaktifkan kembali rekening mereka. Tidak semua rekening yang tidak aktif adalah rekening mencurigakan. Banyak masyarakat yang menyimpan dana untuk kebutuhan jangka panjang atau tabungan darurat,” tambahnya.
Ketimbang menjadi polemik berkepanjangan, Mufti mendesak PPATK dan OJK serta para pemangku kepentingan untuk meninjau ulang kebijakan tersebut.
“Kami meminta kebijakan ini ditangguhkan, atau bahkan dicabut, sampai ada mekanisme yang jelas, transparan, dan tidak merugikan konsumen,” tegas Mufti.
Terpisah Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, dia mengatakan langkah PPATK membekukan rekening nasabah secara sepihak adalah bentuk intervensi yang sudah berlebihan.
Dia mengakui, Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) memang sudah memberikan kewenangan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memblokir rekening dengan indikasi transaksi mencurigakan, namun kewenangan itu tidak serta-merta bisa dilakukan oleh PPATK.
"Rekening itu milik konsumen. Pembekuan atau penutupan semestinya tetap harus melalui persetujuan pemilik rekening, kecuali ada indikasi pelanggaran hukum dan dilakukan oleh pihak yang berwenang seperti penyidik, penuntut umum, atau hakim," ujarnya.
Huda mengatakan, ada banyak alasan yang bisa bikin rekening nganggur dalam jangka waktu tertentu, misalnya saja orang yang baru terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), selama tenggat waktu tertentu rekening mereka bisa saja tidak aktif karena sedang mencari kerja.
Kritik lain datang dari ketidaksesuaian kebijakan dengan kondisi geografis dan sosial masyarakat Indonesia. Di banyak desa, layanan perbankan masih terbatas. Tidak semua masyarakat memiliki akses ke mesin ATM, merchant digital, ataupun perangkat smartphone.
Baca Juga: PPATK Ngaku Temukan Banyak Kejahatan Lewat Rekening Nganggur
Dalam kondisi ini, mengharuskan transaksi setiap tiga bulan agar rekening tetap aktif dianggap tidak realistis.
"Jangan sampai masyarakat yang tidak bersalah harus repot mengurus pembukaan kembali rekening karena diblokir secara sepihak. Padahal bisa jadi selama delapan bulan ia belum mendapat pekerjaan. Ketika akhirnya dapat pekerjaan, malah rekeningnya diblokir," ucapnya.