Siapa yang tidak kenal dengan Founder Ciputra Group, Ir. Ciputra. Dia adalah maestro properti Indonesia yang karyanya tersebar dari di seluruh negeri, bahkan hingga mancanegara. Yang membanggakan, Ciputra selama ini bukan hanya membangun gedung pencakar langit atau kota-kota mandiri, tetapi juga mewariskan filosofi kepemimpinan yang membentuk karakter banyak orang di sekitarnya.
Bagi Ciputra, tujuan hidupnya bukan sekadar mengejar kekayaan. Sejak awal, ia memiliki mimpi yang lebih besar, yakni membangun. Bukan hanya membangun fisik kota, tetapi juga membangun manusia yang ada di dalamnya.
“Saya tidak bercita-cita untuk menjadi kaya. Cita-cita saya adalah membangun. Itu sebabnya saya menjadi developer. Profesi dan bisnis yang saya jalankan akhirnya mengantar saya pada apa yang saya dambakan, yaitu membangun kota, mengubah lahan terbengkalai menjadi sebuah kota yang hidup,” tutur Ciputra, dikutip dari buku biografinya yang bertajuk Ciputra: The Entrepreneur, The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, Selasa (12/8/2025).
Ciputra melanjutkan, membangun dari nol adalah nafas hidupnya. Ia merasakan kebahagiaan besar ketika bisa mengubah sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Itulah mengapa ia tidak tertarik membeli perusahaan yang sudah jadi. Menurutnya, setiap perusahaan yang ia rintis adalah cerminan dari jiwanya.
“Mengkreasikan sesuatu dari tak ada menjadi ada adalah sesuatu yang menghidupkan semangat. Itu sebabnya saya tak pernah membeli perusahaan yang sudah jadi atau menjual perusahaan saya. Selama ini yang pernah saya jual adalah aset atau saham. Karena setiap perusahaan yang saya bangun adalah bagian dari jiwa saya,” ujar Ciputra.
Namun, semangat membangun Ciputra tidak berhenti pada infrastruktur. Ia percaya bahwa membangun manusia jauh lebih penting. Setiap kali bermitra atau menerima karyawan baru, ia selalu berharap mereka berkembang. Melihat orang-orang di sekitarnya sukses adalah kepuasan tersendiri baginya.
“Adalah sebuah kebahagiaan besar ketika orang-orang yang berjalan bersama saya juga bisa meraih kemajuan dalam bisnis dan kehidupan mereka. Tanpa disadari, akhirnya memang saya menjadi guru sambil bekerja,” ungkapnya.
Ciputra menegaskan, tidak semua orang mampu memahami idealisme dan cara kerjanya. Tetapi, bagi mereka yang mengerti, perjalanan bersamanyaadalah petualangan penuh makna dan pembelajaran.
Bagi sang maestro properti ini, membangun kota hanyalah permulaan. Hasrat sejatinya adalah membangun manusia, seperti memberi peluang, membimbing dan menginspirasi agar setiap orang yang berjalan bersamanya bisa ikut bertumbuh.
“Menginginkan orang lain maju, seperti diri saya yang mengalami kemajuan, menjadi semacam hasrat dalam diri saya,” bebernya.
Baca Juga: Warisan Besar Ciputra untuk Generasi Muda Indonesia: Integritas, Profesionalisme, Entrepreneurship
Memimpin untuk Membangun Manusia, Bukan Sekadar Perusahaan
Ciputra juga berpandangan bahwa kepemimpinan bukan sekadar tentang membawa perusahaan menuju puncak kejayaan. Lebih dari itu, ia melihat peran seorang pemimpin sebagai pembangun manusia, yakni membentuk pribadi-pribadi tangguh yang siap menghadapi tantangan hidup.
“Sebagai pemimpin, cita-cita itulah yang selalu menghidupkan saya. Bukan hanya perusahaan saya yang maju, tapi juga segenap karyawan saya,” tukasnya.
Karena itulah, Ciputra menerapkan disiplin yang tegas dan memberikan tugas-tugas penuh tantangan. Ia percaya bahwa perkembangan sejati lahir dari medan sulit, bukan zona nyaman.
“Hampir semua anak buah saya pernah merasakan diceburkan ke kawah Candradimuka. Mereka saya tugaskan di proyek-proyek yang sulit, menghadapi masalah pelik dan rumit. Tidak ada yang saya biarkan bekerja di arena yang mulus. Situasi sulit memaksa kita mengerahkan kemampuan terdalam, sementara kenyamanan justru mudah mengurung talenta kita,” tegasnya.
Namun, perjalanan membangun manusia tidak selalu mulus. Ciputra menyadari, menjadi pemimpin berarti siap menemukan berbagai tipe orang, ada yang memberi semangat dengan kerja kerasnya, tapi ada pula yang menusuk dari belakang.
“Selalu ada Judas di setiap perusahaan. Anda tak perlu meratapinya,” ujar Ciputra.
Bagi Ciputra, pengkhianatan adalah ujian bagi pemimpin. Ia lebih memilih untuk tidak menyimpan dendam, melainkan tetap menanamkan nilai-nilai positif selama masa kepemimpinannya.
“Saya tak pernah dendam pada siapa pun yang membalas rangkulan tulus saya dengan sikap yang tak baik. Yang penting bagi saya, selama menjadi pemimpinnya, saya sudah mengalirkan nilai-nilai yang baik. Jika ia memilih menikam semua itu, itulah sekolah kehidupan yang dipilihnya. Semesta memiliki responsnya sendiri,” tandasnya.
Baca Juga: Transformasi Gaya Kepemimpinan Ciputra, dari Tegas dan Galak Jadi Sabar dan Inspiratif
Memimpin dengan Keterbukaan dan Keadilan
Ciputra lantas mengatakan, sejatinya, kepemimpinan dibangun di atas dua pilar utama, yaitu keterbukaan dan keadilan. Tanpa keduanya, kata dia, perusahaan tidak akan pernah memiliki fondasi yang sehat.
“Jika Anda bersikap penuh kerahasiaan dan tertutup, atmosfer kerja di perusahaan tidak akan sehat. Anda dan anak buah Anda akan berjalan sendiri-sendiri. Tidak akan ada penyatuan hati untuk berjalan ke satu tujuan,” terangnya.
Sejak awal kariernya, Ciputra mengaku, dirinya memegang teguh prinsip bahwa membangun adalah panggilan hidupnya, bukan sekadar mengumpulkan kekayaan. Karena itu, ia menolak segala bentuk intrik, kelicikan, atau keuntungan pribadi yang mengorbankan nilai integritas.
“Cita-cita saya bukan menjadi kaya. Tapi saya ingin membangun. Oleh sebab itu, tidak ada dalam kamus saya bekerja dengan intrik-intrik demi keuntungan pribadi,” paparnya.
Menurutnya, keterbukaan menjadi budaya yang ia terapkan di setiap lapisan organisasi. Baik dengan karyawan, sesama direktur, mitra bisnis, maupun konsumen, transparansi adalah kewajiban. Sejak mendirikan PT Pembangunan Jaya hingga Ciputra Group, prinsip ini terus ia kobarkan.
Di kantor pusat Ciputra Group misalnya, kata Ciputra, keterbukaan ini bahkan terlihat secara fisik. Tidak ada ruang direktur yang tertutup rapat. Semua meja berderet dalam ruangan tanpa sekat, termasuk meja pribadi Ciputra dan keluarganya.
“Kami tidak memiliki ruang sendiri-sendiri yang tertutup. Untuk apa? Tidak ada sesuatu pun yang kami sembunyikan,” ujarnya.
Selain keterbukaan, sambung Ciputra, keadilan adalah kunci lain yang ia pegang teguh. Baginya, perlakuan istimewa pada segelintir orang hanya akan menimbulkan kecemburuan dan potensi pengkhianatan dari yang lain.
“Jika kau memiliki satu anak emas, bersiaplah menghadapi sembilan anak yang akan mengkhianatimu,” tukasnya.
Ditegaskannya, selama ia memimpin perusahaan, tidak ada satupun yang diistimewakan atau disudutkan. Ia melihat setiap orang memiliki kelebihan dan kelemahan, dan tugas pemimpin adalah menstimulasi potensi terbaik dari semua orang di bawahnya.
“Seorang pemimpin harus mampu menstimulasi setiap orang di bawahnya untuk mengerahkan kemampuan terbaik dengan alam kerja yang sehat dan adil,” pungkasnya.
Baca Juga: Keteguhan Iman dan Prinsip Hidup 5D ala Ciputra dalam Menghadapi Sakit dan Ujian