Pernyatan Presiden Joko Widodo terkait partisipasi presiden dalam kampanye pemilihan umum (Pemilu) membuat heboh publik, sesaat setelah pernyataan itu terlontar, Jokowi langsung menjadi bulan-bulanan.
Banyak pihak yang tak sepakat dengan pernyataan tersebut, sebagai orang nomor satu di sebuah negara, presiden semestinya netral dalam setiap hajatan politik, presiden mesti memberi teladan sikap kenegarawanannya.
Baca Juga: Jokowi Klaim Presiden Boleh Ikut Berkampanye, Yusril Mahendra Merespons
Meski begitu banyak pihak yang berpandangan sebaliknya. Mereka pasang badan membela Jokowi dan berdalih bahwa sejauh ini Undang-undang Pemilu tak membatasi keterlibatan presiden dan menterinya dalam kampanye Pemilu.
Yang dilarang hanya penggunaan fasilitas negara untuk kampanye. Bahkan penyelenggara pemilu macam Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga telah memberi pernyataan yang membenarkan omongan Jokowi: Presiden boleh terlibat aktif dalam kampanye. Itu artinya KPU secara sadar membiarkan presiden tak netral pada gelaran pemilu.
Pakar politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam adalah salah satu pihak yang keberatan dengan keterlibatan presiden dalam kampanye. Sebab hal itu dapat memicu penyalahgunaan kewenangan.
Menurut Umam sebagai orang yang paling berkuasa, presiden bisa saja memobilisasi kekuatan dan alat negara untuk memenangkan pasangan calon tertentu, sebab Kepala Negara sukar memisahkan mana domain privat dan publik.
Partisipasi presiden dalam kampanye membuat kontestasi pemilu menjadi tak sehat. Umam menyebut itu sebagai ruang gelap dalam hajatan politik lima tahunan itu.
"Cukup banyak instrumen kekuasaan negara berpotensi disalahgunakan dalam kontestasi itu. Problemnya di situ. Jadi ruang gelap ini yang buat kompetisi jadi kurang sehat," kata Umam kepada wartawan Kamis (25/1/2024).
Baca Juga: Jokowi Bilang Presiden Bisa Ikut Kampanye, KPU: UU Pemilu Memperbolehkan Itu
Umam menyebut pernyataan Jokowi bisa saja menjadi sebuah kode, bahwa dirinya bakal turun langsung dalam kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Jokowi kata dia bakal mempertontonkan keberpihakannya secara terbuka kepada Prabowo-Gibran, hitung-hitungan politiknya, pernyataan dukungan Jokowi sangat berefek pada elektabilitas pada paslon yang ia dukung,
"Saya prediksi dia akan melakukan deklarasi secara terbuka beri dukungan ke kubu 02. Tentu statement itu akan kerek elektoral di detik-detik terakhir bagi kubu 02," tambahnya.
Yusril Izha Mahendra Bela Jokowi
Sementara itu Guru besar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra mengaku sepakat dengan pernyataan Jokowi, dia bilang keterlibatan Presiden dalam kampanye Pemilu sah-sah saja. Bahkan izin partisipasi presiden dalam kampanye telah termaktub dalam Undang-Undang Pemilu Pasal 280
Baca Juga: Jokowi Disebut-sebut Ngotot Bertemu Megawati, Istana Buru-buru Membantah
“Bagaimana dengan pemihakan? Ya kalau Presiden dibolehkan kampanye, secara otomatis Presiden dibenarkan melakukan pemihakan kepada capres cawapres tertentu, atau parpol tertentu. Masa orang kampanye tidak memihak,” kata Yusril.
“Aturan kita tidak menyatakan bahwa Presiden harus netral, tidak boleh berkampanye dan tidak boleh memihak. Ini adalah konsekuensi dari sistem Presidensial yang kita anut, yang tidak mengenal pemisahan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dan jabatan Presiden dan Wapres maksimal dua periode sebagaimana diatur oleh UUD 45,” tambahnya.
Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia periode 2001-2004 itu menyatakan, jika presiden tidak boleh berpihak, maka seharusnya jabatan presiden dibatasi hanya untuk satu periode.
Jika ada pihak yang ingin presiden bersikap netral, Yusril mempersilakan pihak tersebut untuk mengusulkan perubahan konstitusi.
“Itu (agar presiden netral) memerlukan amandemen UUD 45. Begitu pula Undang-Undang Pemilu harus diubah, kalau presiden dan wakil presiden tidak boleh berkampanye dan memihak. Aturan sekarang tidak seperti itu, maka Presiden Joko Widodo tidak salah jika dia mengatakan presiden boleh kampanye dan memihak,” beber dia.
Yusril, yang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), berani berdebat ihwal ungkapan tidak etis yang diarahkan kepada Presiden Jokowi jika dia berpihak pada salah satu kandidat. Hal pertama yang harus digarisbawahi adalah perbedaan antara norma etik dengan code of conduct.
“Kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat, yang harusnya dibahas ketika merumuskan Undang-Undang Pemilu,” kata dia.
Baca Juga: Ogah Nilai Kinerja Kementerian Pasca Debat Capres, Anies: Sensitif, Ada yang Ceramah Terus
“Tetapi kalau etis dimaknai sebagai code of conduct dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil dan seterusnya. Masalahnya, sampai sekarang code of conduct presiden dan wakil presiden (dilarang kampanye atau berpihak) belum ada,” sambung dia.
Atas dasar itulah Yusril mempertanyakan indikator etis yang dialamatkan kepada Jokowi, yang berujar di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma pada Rabu bahwa “presiden boleh berkampanye.”
“Kalau seseorang berbicata etis dan tidak etis, umumnya berbicara menurut ukurannya sendiri. Bahkan, orang kurang sopan santun atau kurang basa-basi saja sudah dianggap tidak etis. Apalagi dibawa ke persoalan politik, soal etis tidak etis, malah terkait dengan kepentingan politik masing,” tegas Yusril.