Lebih Suka Nongkrong di Orchard Road Dibanding Pesta

Lebih lanjut, Tahir mengatakan jika dirinya ditanya tentang serunya kehidupan kampus, ia akan kesulitan menemukan jawabannya. Menurutnya, tak banyak yang ia ingat. Seperti tak ada kesan berarti yang tersisa untuk dikenang selama berkuliah di sana.

“Setelah menikmati kebanggan menjadi mahasiswa Nanyang, emosi saya perlahan menjadi datar kembali. Karena rutinitas harian saya di sana cuma belajar. Saya menyikapi gilanya persaingan di kampus dengan bekerja keras dalam studi saya,” ujar Tahir.

“Saya mencapai nilai yang cukup baik. Seusai kelas, saya kerap bersantai sejenak sambil merebus mie instan datau mendengarkan musik dari stasiun radio lokal. Sehabis itu saya membaca kembali catatan kuliah, lalu pergi tidur,” sambung Tahir.

Tahir mengaku kerap melakukan rutinitas seperti itu setiap harinya. Terkadang, teman-temannya yang lain bertanya, kenapa ia tak bergabung saat pesta dan bersenang-senang. Ia hanya menjawab, “saya hanya lelah dan tidak tertarik.”

“Yang masih bisa saya nikmati adalah nongkrong di Kawasan Orchard Road. Saya selalu mengenakan kaos bertuliskan kampus Nanyang. Entah kenapa nama kampus itu mengangkat harga diri saya hingga 100 persen. Saya juga terkadang pergi dengan temen-teman ke bioskop, membeli kaos murah, dan makan di warung murah. Itu cukup membuat saya senang. Setidaknya saya bisa menjauh sebentar dari suasana kampus beberapa saat,” tutur Tahir.

Baca Juga: Mengulik Kisah Ayah Dato Sri Tahir, Ang Boen Ing: Dipaksa Dewasa Sebelum Waktunya Akibat Didera Kemiskinan

Kerap Rendah Diri, tapi Sama Sekali Tak Merasa Kalah

Kemudian, Tahir pun menceritakan bahwa ia tak benar-benar menjaga persahabatannya dengan sesama mahasiswa Indonesia. Itu karena ia kerap merasa rendah diri. Sebab, teman-temannya tak sedikit yang selalu membicarakan bisnis ayahnya masing-masing.

“Mereka selalu menceritakan bisnis ayahnya dengan arogan. Jujur, itu membuat saya merasa tertinggal jauh di belakang mereka dalam hal kemakmuran. Itulah sebabnya saya lebih suka tinggal di kamar saya sendiri,” ujar Tahir.

Namun anehnya, lanjut Tahir, meski ia kerap merasa rendah diri di antara teman-temannya, ia sama sekali tidak merasa kalah.

“Untuk alasan yang tidak saya mengerti, seolah-olah ada suara dalam diri saya berkata. “Hai Tahir, kamu akan melampaui mereka,” ucap Tahir.

Tahir lantas mengatakan bahwa dirinya juga tak tertarik dalam hal percintaan saat menjalani kehidupan sebagai mahasiswa Nanyang University. Lagi-lagi, kata dia, rasa rendah diri kerap mendera dan menghambat dirinya untuk mengenal lawan jenis.

“Sama seperti SMA dulu, saya tidak punya keberanian untuk berbicara dengan gadis mana pun. Apalagi menjalani hubungan special. Kalau tidak salah malah, tak ada satu siswi pun yang mengenal saya dengan baik,” tukas Tahir.

Baca Juga: Mengulik Kembali Kedekatan Dato Sri Tahir dengan Ahok

Liburan di Kampung Halaman

Setelah menjalani kehidupan baru di kampus, satu waktu, Tahir libur sejenak dari rutinitas belajarnya. Ia pun memilih untuk pulang kampung ke kampung halamannya di Surabaya. Saat liburan seperti itu adalah hal yang dinanti-nanti Tahir sejak lama.

Namun, betapa kagetnya Tahir karena ternyata orang tuanya berhasil membeli rumah baru. Ia tak lagi menempati rumah bekas markas pertahanan pejuang lokal di Jl. Bunguran, tetapi kini orang tuanya tinggal di sebuah rumah yang cukup besar dengan halaman yang luas di Jl. Wijaya Kusuma, Surabaya.

“Orang tua saya akhirnya membeli rumah baru. Rumah yang cukup mengesankan. Saya pun berdiri terpaku beberapa saat sebelum memasuki rumah itu,” ucap Tahir.

Saat itu, sang ibu pun mengatakan jika kini Tahir memiliki kamar tidur sendiri. Tak hanya itu, kata Tahir, sang ibu pun mengajak dirinya untuk bersyukur.  

“Rumah baru itu benar-benar kejutan bagi saya. Mamah tidak melakukan penataan berlebihan di dalam. Ada pilar-pilar kokoh, dan lantai mulusnya berkilauan. Dan, jendela-jendela cantiknya serasa mengantarkan saya ke bulan. Bagus sekali. Jauh sekali dibandingkan rumah yang dulu, yang kusam dan dipenuhi lubang peluru,” beber Tahir.

Dikatakan Tahir, saat itu bisnis yang dijalani ibunya memang berjalan dengan baik. Sang ayah masih menjadi mitra bisnisnya yang solid. Kedua orang tuanya pun lantas bercerita tentang melonjaknya permintaan berlian di Surabaya. Mereka meraup keuntungan yang cukup besar dari bisnis ini.

“Saya mendengarkan cerita orang tua dengan rasa terima kasih. Terlebih toko kami, Sumber Murni, masih beroperasi dengan lantas. Setiap hari papah dan mamah pergi ke sana untuk menjalankan toko,” ujar Tahir.

Baca Juga: Kisah Dato Sri Tahir Masuk Keluarga Konglomerat Mochtar Riady