Pesan Mendalam Orang Tua untuk Tahir

Selang beberapa saat, melihat sang anak tumbuh dewasa dan menginjak usia 21 tahun, kedua orang tua Tahir pun lantas meminta Tahir untuk mencari calon istri. Sang ibu pun berpesan agar Tahir mencari calon istri yang baik dan kuat untuk menemaninya berjuang bersama. Sementara sang ayah meminta Tahir untuk bisa menjadi laki-laki terhormat yang dihargai banyak orang.

“Saat itu papah bilang, ‘aku bermimpi melihatmu dengan mudah memasuki Gedung-gedung mewah dan menduduki jabatan tinggi. Kamu tidak harus menjadi pedagang jika kuliahmu bisa menghasilkan kamu laki-laki terhormat di kantor yang mempunyai reputasi baik’,” tutur Tahir seraya menirukan ucapan sang ayah kala itu.

Tahir bilang, saat itu ia hanya berusaha mengangguk dan mendengarkan semua perkataan orang tuanya. Ia pun mengaku tak merasakan kegembiraan apa pun ketika orang tuanya berbicara soal perempuan. Menurutnya, ia akan memikirkan soal pendamping hidup saat ia telah mencapai pencapaian yang signifikan dalam hidup, tidak sekarang.

“Masa kecil saya yang pahit membuat saya enggan memikirkan untuk menikah muda. Saya tidak perlu terburu-buru dalam hal ini,” tukas Tahir.

Lebih lanjut, kata Tahir, ketika menghabiskan liburan kuliah di Surabaya, dia kerap pergi ke tempat-tempat dimana ia dibesarkan. Seperti, ke bekas rumahnya dulu di Jl. Bunguran. Lalu pergi mengunjungi rumah sahabatnya ayahnya dulu yang serumah dengannya, Tan Boen Tjoe.

Tak lupa, ia pun menyusuri Jl. Keputran, Jl. Kapasan, dan lewat di depan RS Husada, tempat dimana ia dilahirkan, dan baru bisa keluar dari RS setelah sang ibu berhasil mendapatkan pembeli becak rakitan milik sang ayah.

“Waktu begitu cepat, betapa saya mencintai Surabaya. Saya menyukai bau keringat keluarga saya. Namun demikian, saya harus tetap kembali ke Singapura,” tandas Tahir.

Sebelum kembali ke Singapura, Tahir pun diberi nasihat oleh sang ayah. Sang ayah berpesan agar Tahir kuliah untuk mendapatkan rasa hormat. Ia pun dituntut harus bisa bekerja keras.

“Papah berpesan kepada saya sebelum berangkat ke Singapura, ‘Tahir, ingat, kamu kuliah untuk mendapatkan rasa hormat. Dan rasa hormat tidak datang dari rasa kasihan. Rasa hormat datang ketika seseorang bekerja keras dan membangun kehidupan yang kokoh. Ingatlah itu, dan jangan berharap pada siapapun,” tutur Tahir menirukan pesan ayahnya kala itu.

Setelah perbincangan itu, Tahir pun akhirnya terbang kembali ke Singapura. Ia mengaku, perjalanan itu dilakukannya setengah hati, betapa ia ingin lebih lama lagi tinggal bersama orang tuanya di Surabaya. Ia tak ingin menjalani kehidupan kampus yang mencekam. Namun sayangnya, ia tak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah.

“Saat itu, saya ingat pesan mamah, ‘Kembalilah sebagai ulama yang luar biasa, Tahir’. Saya tidak pernah mempunyai niat sedikitpun untuk menyakiti hati orang tua. Jadinya saya kembali kuliah dan berkonstrasi pada studi,” ucap Tahir.

Sesampainya di Singapura, Tahir pun menjalani rutinitasnya seperti biasa sebagai mahasiswa. Ia belajar keras, mengurung diri di kamar asrama, dan pergi ke pusat kota pada akhir pekan. Semester demi semester akhirnya ia lalui. Namun, ia tetap merasakan hidupnya datar dan dan sunyi. Meski begitu, Tahir tak patah arang. Ia akan terus semangat kuliah demi mewujudkan impian orang tuanya: Menjadi pria terhormat!

Baca Juga: Kisah Kedekatan Dato Sri Tahir dan UGM: Awal Jadi Mahasiswa hingga Dianugerahi Gelar Doktor Honoris Causa