Menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia tentunya perlu usaha dan kerja keras yang kuat. Begitupun dengan yang dilakukan Dato Sri Tahir. Kegigihan yang dilakukannya sedari kecil hingga sukses seperti sekarang ini tentunya menjadi inspirasi bagi masyarakat di Indonesia.
Bahkan kini, pendiri Mayapada Group ini masuk ke dalam daftar orang terkaya di Indonesia ke-7 menurut Forbes per Agustus 2024 dengan mengantongi harta kekayaan hingga $5,2 miliar (Rp84,34 triliun).
Namun siapa sangka, di balik kesuksesannya tersebut, pria yang memiliki nama asli Ang Tjoen Ming yang lahir di Surabaya, 26 Maret 1952 ini memiliki kehidupan kecil dan remaja yang pelik, lantaran ia tumbuh di tengah keluarga yang menghadapi banyak tekanan hidup. Tahir kecil pun sering merasa minder karena dihina dan diejek orang lain.
Begitupun saat ia menjalani kehidupan sebagai seorang mahasiswa di Nanyang Technological University (NTU) Singapura. Meski bangga bisa berkuliah di kampus bergengsi di negeri Singa, suami Rosy Riady ini ternyata kerap merasa tertekan akibat budaya kompetitif di kampusnya. Tahir bilang, persaingan tampak besar di seluruh kampus.
Lantas, seperti apa kisah Dato Sri Tahir saat kuliah di Nanyang Technological University (NTU) Singapura? Lewat pena Alberthiene Endah dalam buku berjudul Living Sacrifice, Tahir pun menceritakannya secara gamblang. Yuk, simak!
Baca Juga: Kisah Dato Sri Tahir Ikuti Permintaan Orang Tua untuk Kuliah di Singapura
Kerap Tertekan Akibat Budaya Kompetitif di Kampus
Tahir mengatakan, tepat seperti dugaannya, Universitas Nanyang penuh dengan anak-anak yang berkecukupan. Ada anak seorang pengusaha minyak, anak pengusaha daging, serta tak ketinggalan anak pengusaha batik. Menemukan mahasiswa seperti dirinya yang datang dari keluarga sederhana ibaratnya seperti menemukan jarum di tumpukan jerami.
“Saya adalah bagian dari kelompok mahasiswa kaya yang merupakan mahasiswa termiskin di antara mereka semua,” tutur Tahir.
Jika ditanya apakah dirinya menikmati kala belajar di Nanyang, Tahir dengan tegas menjawab tidak menikmati sama sekali. Menurutnya, dia memang menghormati kampusnya, bahkan bangga bisa berkuliah di sana. Namun, Tahir tidak menyukai budaya kompetitif di Nanyang. Tahir bilang, persaingan tampak besar di seluruh kampus.
“Saya merasakan atmosfer ini semakin kuat sepanjang waktu. Menakjubkan. Mahasiswa di Nanyang tidak hanya bersaing satu sama lain, tapi mereka juga saling menjatuhkan. Tidak ada pertukaran ilmu. Orang pintar yang mengusai mata pelajaran akan tetap diam, tutup mulut untuk mencegah orang lain mengakses ilmunya,” terang Tahir.
Tahir menuturkan, persaingan antar mahasiswa juga terbilang sangat ketat dan tidak sehat. Tak ayal, mereka yang berhasil kerap merasa lega melihat orang lain gagal. Kondisi tersebut lama kelamaan membuat Tahir merasa tak nyaman.
“Mereka yang gagal dan tersandung tidak dikasihani. Mereka yang berhasil merasa lega melihat yang lain gagal karena hal itu berarti peluang mereka untuk menang lebih besar, seperti itulah suasana dominan di sana,” papar Tahir.
Tahir lantas mengatakan, di Universitas Nanyang sendiri setidaknya ada 3 kelompok besar siswa berprestasi. Yakni, mahasiswa lokal Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Ia pun mengaku, lebih mudah berteman dengan sesama pelajar dari Indonesia dan Malaysia.
“Mahasiswa asal Malaysia dan Indonesia lebih mudah berteman, berbeda dengan mahasiswa Singapura yang lebih egois dan tidak banyak berinteraksi dengan orang lain. Mereka sibuk dengan ambisinya masing-masing. Karakteristik itu yang saya temukan di berbagai aspek kehidupan di Singapura,” jelas Tahir.
Dengan budaya kompetitif yang menyelimuti kampusnya itu, tak ayal membuat Tahir stress. Ia tidak menyukai suasana yang tidak sehat setiapnya harinya. Tak pelak, Tahir pun kerap merindukan keluarganya. Namun sayangnya, kata Tahir, orang tuanya bukanlah tipe yang romantis, yang mudah merindukan anaknya.
“Mamah kadang datang menjenguk sebentar. Setelah menepuk pundak dan menghabiskan waktu mengobrol dengan saya, dia akan mengucapkan selamat tinggal. Seteleh menjenguk saya, dia akan melanjutkan berbelanja untuk keperluan trading. Terkadang, melihat sikap mamah seperti itu, kerinduan saya akan rumah berkurang, karena sikap acuh tak acuh mamah itu,” kenang Tahir.
Baca Juga: Kisah Perubahan Nama Tahir dari Ang Tjoen Ming
Lebih Suka Nongkrong di Orchard Road Dibanding Pesta
Lebih lanjut, Tahir mengatakan jika dirinya ditanya tentang serunya kehidupan kampus, ia akan kesulitan menemukan jawabannya. Menurutnya, tak banyak yang ia ingat. Seperti tak ada kesan berarti yang tersisa untuk dikenang selama berkuliah di sana.
“Setelah menikmati kebanggan menjadi mahasiswa Nanyang, emosi saya perlahan menjadi datar kembali. Karena rutinitas harian saya di sana cuma belajar. Saya menyikapi gilanya persaingan di kampus dengan bekerja keras dalam studi saya,” ujar Tahir.
“Saya mencapai nilai yang cukup baik. Seusai kelas, saya kerap bersantai sejenak sambil merebus mie instan datau mendengarkan musik dari stasiun radio lokal. Sehabis itu saya membaca kembali catatan kuliah, lalu pergi tidur,” sambung Tahir.
Tahir mengaku kerap melakukan rutinitas seperti itu setiap harinya. Terkadang, teman-temannya yang lain bertanya, kenapa ia tak bergabung saat pesta dan bersenang-senang. Ia hanya menjawab, “saya hanya lelah dan tidak tertarik.”
“Yang masih bisa saya nikmati adalah nongkrong di Kawasan Orchard Road. Saya selalu mengenakan kaos bertuliskan kampus Nanyang. Entah kenapa nama kampus itu mengangkat harga diri saya hingga 100 persen. Saya juga terkadang pergi dengan temen-teman ke bioskop, membeli kaos murah, dan makan di warung murah. Itu cukup membuat saya senang. Setidaknya saya bisa menjauh sebentar dari suasana kampus beberapa saat,” tutur Tahir.
Kerap Rendah Diri, tapi Sama Sekali Tak Merasa Kalah
Kemudian, Tahir pun menceritakan bahwa ia tak benar-benar menjaga persahabatannya dengan sesama mahasiswa Indonesia. Itu karena ia kerap merasa rendah diri. Sebab, teman-temannya tak sedikit yang selalu membicarakan bisnis ayahnya masing-masing.
“Mereka selalu menceritakan bisnis ayahnya dengan arogan. Jujur, itu membuat saya merasa tertinggal jauh di belakang mereka dalam hal kemakmuran. Itulah sebabnya saya lebih suka tinggal di kamar saya sendiri,” ujar Tahir.
Namun anehnya, lanjut Tahir, meski ia kerap merasa rendah diri di antara teman-temannya, ia sama sekali tidak merasa kalah.
“Untuk alasan yang tidak saya mengerti, seolah-olah ada suara dalam diri saya berkata. “Hai Tahir, kamu akan melampaui mereka,” ucap Tahir.
Tahir lantas mengatakan bahwa dirinya juga tak tertarik dalam hal percintaan saat menjalani kehidupan sebagai mahasiswa Nanyang University. Lagi-lagi, kata dia, rasa rendah diri kerap mendera dan menghambat dirinya untuk mengenal lawan jenis.
“Sama seperti SMA dulu, saya tidak punya keberanian untuk berbicara dengan gadis mana pun. Apalagi menjalani hubungan special. Kalau tidak salah malah, tak ada satu siswi pun yang mengenal saya dengan baik,” tukas Tahir.
Baca Juga: Mengulik Kembali Kedekatan Dato Sri Tahir dengan Ahok
Liburan di Kampung Halaman
Setelah menjalani kehidupan baru di kampus, satu waktu, Tahir libur sejenak dari rutinitas belajarnya. Ia pun memilih untuk pulang kampung ke kampung halamannya di Surabaya. Saat liburan seperti itu adalah hal yang dinanti-nanti Tahir sejak lama.
Namun, betapa kagetnya Tahir karena ternyata orang tuanya berhasil membeli rumah baru. Ia tak lagi menempati rumah bekas markas pertahanan pejuang lokal di Jl. Bunguran, tetapi kini orang tuanya tinggal di sebuah rumah yang cukup besar dengan halaman yang luas di Jl. Wijaya Kusuma, Surabaya.
“Orang tua saya akhirnya membeli rumah baru. Rumah yang cukup mengesankan. Saya pun berdiri terpaku beberapa saat sebelum memasuki rumah itu,” ucap Tahir.
Saat itu, sang ibu pun mengatakan jika kini Tahir memiliki kamar tidur sendiri. Tak hanya itu, kata Tahir, sang ibu pun mengajak dirinya untuk bersyukur.
“Rumah baru itu benar-benar kejutan bagi saya. Mamah tidak melakukan penataan berlebihan di dalam. Ada pilar-pilar kokoh, dan lantai mulusnya berkilauan. Dan, jendela-jendela cantiknya serasa mengantarkan saya ke bulan. Bagus sekali. Jauh sekali dibandingkan rumah yang dulu, yang kusam dan dipenuhi lubang peluru,” beber Tahir.
Dikatakan Tahir, saat itu bisnis yang dijalani ibunya memang berjalan dengan baik. Sang ayah masih menjadi mitra bisnisnya yang solid. Kedua orang tuanya pun lantas bercerita tentang melonjaknya permintaan berlian di Surabaya. Mereka meraup keuntungan yang cukup besar dari bisnis ini.
“Saya mendengarkan cerita orang tua dengan rasa terima kasih. Terlebih toko kami, Sumber Murni, masih beroperasi dengan lantas. Setiap hari papah dan mamah pergi ke sana untuk menjalankan toko,” ujar Tahir.
Baca Juga: Kisah Dato Sri Tahir Masuk Keluarga Konglomerat Mochtar Riady
Pesan Mendalam Orang Tua untuk Tahir
Selang beberapa saat, melihat sang anak tumbuh dewasa dan menginjak usia 21 tahun, kedua orang tua Tahir pun lantas meminta Tahir untuk mencari calon istri. Sang ibu pun berpesan agar Tahir mencari calon istri yang baik dan kuat untuk menemaninya berjuang bersama. Sementara sang ayah meminta Tahir untuk bisa menjadi laki-laki terhormat yang dihargai banyak orang.
“Saat itu papah bilang, ‘aku bermimpi melihatmu dengan mudah memasuki Gedung-gedung mewah dan menduduki jabatan tinggi. Kamu tidak harus menjadi pedagang jika kuliahmu bisa menghasilkan kamu laki-laki terhormat di kantor yang mempunyai reputasi baik’,” tutur Tahir seraya menirukan ucapan sang ayah kala itu.
Tahir bilang, saat itu ia hanya berusaha mengangguk dan mendengarkan semua perkataan orang tuanya. Ia pun mengaku tak merasakan kegembiraan apa pun ketika orang tuanya berbicara soal perempuan. Menurutnya, ia akan memikirkan soal pendamping hidup saat ia telah mencapai pencapaian yang signifikan dalam hidup, tidak sekarang.
“Masa kecil saya yang pahit membuat saya enggan memikirkan untuk menikah muda. Saya tidak perlu terburu-buru dalam hal ini,” tukas Tahir.
Lebih lanjut, kata Tahir, ketika menghabiskan liburan kuliah di Surabaya, dia kerap pergi ke tempat-tempat dimana ia dibesarkan. Seperti, ke bekas rumahnya dulu di Jl. Bunguran. Lalu pergi mengunjungi rumah sahabatnya ayahnya dulu yang serumah dengannya, Tan Boen Tjoe.
Tak lupa, ia pun menyusuri Jl. Keputran, Jl. Kapasan, dan lewat di depan RS Husada, tempat dimana ia dilahirkan, dan baru bisa keluar dari RS setelah sang ibu berhasil mendapatkan pembeli becak rakitan milik sang ayah.
“Waktu begitu cepat, betapa saya mencintai Surabaya. Saya menyukai bau keringat keluarga saya. Namun demikian, saya harus tetap kembali ke Singapura,” tandas Tahir.
Sebelum kembali ke Singapura, Tahir pun diberi nasihat oleh sang ayah. Sang ayah berpesan agar Tahir kuliah untuk mendapatkan rasa hormat. Ia pun dituntut harus bisa bekerja keras.
“Papah berpesan kepada saya sebelum berangkat ke Singapura, ‘Tahir, ingat, kamu kuliah untuk mendapatkan rasa hormat. Dan rasa hormat tidak datang dari rasa kasihan. Rasa hormat datang ketika seseorang bekerja keras dan membangun kehidupan yang kokoh. Ingatlah itu, dan jangan berharap pada siapapun,” tutur Tahir menirukan pesan ayahnya kala itu.
Setelah perbincangan itu, Tahir pun akhirnya terbang kembali ke Singapura. Ia mengaku, perjalanan itu dilakukannya setengah hati, betapa ia ingin lebih lama lagi tinggal bersama orang tuanya di Surabaya. Ia tak ingin menjalani kehidupan kampus yang mencekam. Namun sayangnya, ia tak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah.
“Saat itu, saya ingat pesan mamah, ‘Kembalilah sebagai ulama yang luar biasa, Tahir’. Saya tidak pernah mempunyai niat sedikitpun untuk menyakiti hati orang tua. Jadinya saya kembali kuliah dan berkonstrasi pada studi,” ucap Tahir.
Sesampainya di Singapura, Tahir pun menjalani rutinitasnya seperti biasa sebagai mahasiswa. Ia belajar keras, mengurung diri di kamar asrama, dan pergi ke pusat kota pada akhir pekan. Semester demi semester akhirnya ia lalui. Namun, ia tetap merasakan hidupnya datar dan dan sunyi. Meski begitu, Tahir tak patah arang. Ia akan terus semangat kuliah demi mewujudkan impian orang tuanya: Menjadi pria terhormat!