Terapi stem cell kian mendapat sorotan di dunia medis, khususnya dalam penanganan penyakit saraf yang selama ini menjadi penyebab utama kecacatan dan kematian.

Stroke, misalnya, tercatat sebagai penyebab kematian nomor dua di dunia dan penyakit nomor satu yang paling banyak menimbulkan kecacatan. Dalam konteks inilah, stem cell dipandang sebagai terobosan yang membuka harapan baru.

Menurut dr. Danny Halim, SpBS, PhD, Dokter Bedah Saraf RS Siloam Lippo Village sekaligus Ketua Tim Stem Cell di Siloam, efektivitas terapi ini sudah terbukti cukup signifikan dibanding metode konvensional.

“Banyak sekali penelitian klinis yang menunjukkan hasil signifikan. Secara statistik, kemungkinan efek yang terlihat hanyalah kebetulan kurang dari 5 persen. Artinya, ada probabilitas 95 persen bahwa perbaikan yang terjadi memang disebabkan oleh aplikasi stem cell. Itu angka yang sangat tinggi dibandingkan pengobatan konservatif,” terang dr. Danny saat ditemui Olenka, di sela Siloam Neuroscience Summit 2025, Jakarta, baru-baru ini.

Meski hasil penelitian menjanjikan, pemerintah Indonesia hingga kini baru mengizinkan penggunaan stem cell secara luas pada bidang ortopedi, sementara untuk neurologi masih dalam tahap penelitian berbasis layanan.

“Di Grup Siloam, kami mengacu pada aturan pemerintah. Yang sudah masuk ke standar pelayanan adalah bidang ortopedi. Siloam sudah melakukan terapi stem cell untuk ortopedi. Kalau ortopedi, stem cell akan memodulasi sistem imun sehingga inflamasi di sendi tulangnya berkurang,” jelasnya.

Namun, dr. Danny menegaskan bahwa menunggu standar kelayakan terlalu lama justru dapat merugikan pasien.

“Kalau kita terlalu lama menunggu, akan terlalu banyak lost. Apalagi stroke adalah penyakit nomor satu yang menimbulkan kecacatan dan nomor dua menyebabkan kematian. Karena itu, yang kami lakukan adalah membuat protokol internal yang customized, dirancang secara optimal berdasarkan semua hasil studi klinis yang sudah dipublikasikan,” terang dr. Danny.

Cara Kerja Stem Cell di Penyakit Saraf

Dr. Danny menerangkan, mekanisme stem cell pada penyakit saraf jauh lebih kompleks dibanding ortopedi. Ada dua mekanisme utama. Pertama,Cell Replacement Therapy, dimana stem cell berdiferensiasi menggantikan sel saraf yang mati akibat stroke.

“Misal kita kena stroke, itu banyak sekali sel saraf yang mati. Nah, stem cell ini bisa berdiferensiasi menggantikan sel yang rusak atau sel mati,” jelasnya.

Dan kedua, Neurotrophic Effect, dimana stem cell menghasilkan faktor pertumbuhan yang membantu memperbaiki jaringan saraf yang masih hidup.

“Stem cell bisa menghasilkan hormon, growth factor, untuk merangsang sel yang rusak agar tumbuh lebih sehat,” ujarnya.

Baca Juga: Menggali Peran Stem Cell dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Pasien Neurologis

Jenis stem cell yang digunakan umumnya adalah mesenchymal stem cell (MSC) yang berasal dari sumsum tulang, tali pusat, atau jaringan lemak. MSC dipilih karena minim risiko penolakan.

Menariknya, kata dr. Danny, stem cell tidak hanya bermanfaat pada pasien stroke akut, tetapi juga pada pasien yang sudah berada di fase subakut maupun kronis.

“Penelitian menunjukkan pasien stroke pada fase subakut maupun kronis masih bisa mendapat manfaat. Meskipun cacatannya sudah ada, terapi stem cell terbukti memberikan perbaikan fungsional maupun motorik,” kata dr. Danny.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sumber stem cell bisa berasal dari dua pendekatan, yakniAutologous transplant (auto transplant), dari tubuh pasien sendiri. Dan, Allogeneic transplant (allo transplant), dari donor lain yang bisa diproduksi massal sehingga lebih cepat diaplikasikan.

“Auto transplant idealnya lebih baik karena berasal dari tubuh pasien sendiri, namun prosesnya lebih lama. Sementara allo transplant bisa lebih praktis untuk kasus yang membutuhkan penanganan cepat,” ungkapnya.

Optimisme dan Arah Masa Depan

Dr. Danny mengingatkan bahwa teknologi stem cell masih terus berkembang sejak pertama kali berhasil dikembangkan oleh James Thomson di University of Wisconsin-Madison pada 1998.

“Kita berangan-angan, sel apapun yang rusak bisa digantikan dari stem cell. Banyak sekali uji klinis tentang stem cell, dan sebagian besar menunjukkan hasil signifikan dibandingkan dengan terapi konvensional, meski memang belum menjadi standar global,” jelasnya.

Sebagai Ketua Tim Stem Cell di Siloam, ia menegaskan misinya sederhana, yakni mempercepat akses pasien saraf terhadap terapi yang berpotensi mengubah hidup mereka.

“Saya dipilih untuk memimpin tim stem cell di Siloam dengan tujuan sederhana, yaitu memberikan pelayanan yang paling optimal bagi pasien saraf. Kalau kita menunggu sampai terapi ini distandardisasi secara global, akan terlalu lama, sementara banyak pasien stroke dan penyakit saraf lain yang sudah menunggu pertolongan,” tutup dr. Danny.

Baca Juga: Siloam Hadirkan Robot Bedah Otak Pertama di Indonesia, Prof. Julius July: Keselamatan Pasien adalah Prioritas Utama