Kesibukan baru itu dilakoni Ciputra setiap pagi ketika Gorontalo masih gelap. Lewat aktivitas ini pula, Ciputra menemukan sesuatu yang baru di dalam dirinya, bahwa berlari adalah sebuah kegiatan untuk melatih kesabaran untuk terus bergerak
“Ada kesabaran untuk terus menggerakkan kaki sampai ke target yang saya tuju. Ada ketegaran untuk bertahan kuat dan kuat. Pantang berhenti. Saya membayangkan diri saya tengah menembus hutan, berlari sekencang-kencangnya untuk mengalahkan cepatnya babi berlari. Saya berlari terus sampai napas saya tersengal-sengal dan tak kuat lagi,” katanya lagi.
“Saya menjadi pelatih bagi diri sendiri. Dalam kesunyian hidup saya di sana, bunyi deru napas dan derap berlari saya menjadi bebunyian yang khas dan sangat rutin. Itulah masa yang sangat penting bagi pembentukan seorang Ciputra,” imbuhnya.
Baca Juga: Ayah Ditawan dan Meninggal di Penjara, Ini Kisah Ciputra yang Piatu Sejak Kecil
Kebiasan berlari setiap pagi membuat Ciputra mulai dikenal di lingkungan sekitar, mereka terkesan dan menjulukinya ‘Si Cina jago lari’ Julukan itu datang bukan tanpa sebab, ia mendapat julukan itu lantaran saat itu belum ada pelari keturunan Tionghoa yang sehebat dirinya, Ciputra adalah orang pertama yang kehebatannya bisa disandingkan dengan pelari lokal.
"Lihat, si Nyong. Si Cina itu larinya cepat sekali!" Kata Ciputra menirukan ucapan warga yang memuji dirinya.
“Tak ada bunyi penghinaan dalam kata "Cina". Mereka justru respek. Sebab sangat jarang ada orang Tionghoa berlari seperti saya. Kebanyakan para pelari adalah penduduk asli. Mereka berotot sangat kuat. Di Gorontalo kerap diadakan lomba lari, selain sepak bola. Para pelari penduduk asli itulah yang mewarnai lomba-lomba lari di sana,” Tutup Ciputra.