Indonesia telah mengadopsi sistem Bank Emas atau Bullion Bank yang berlaku sejak Februari 2025. Berdasarkan keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pegadaian dan Bank Syariah Indonesia (BSI) resmi menjadi Bullion Bank di Indonesia.

Bullion Bank merupakan sistem perekonomian yang menempatkan lembaga jasa keuangan terkait dalam kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan emas. Kegiatan tersebut dapat berupa simpanan emas, pembiayaan emas, perdagangan emas, penitipan emas, dan/atau kegiatan lainnya.

Baca Juga: 7 Alasan Investasi Emas Digital Bikin Finansial Makin Terkendali!

“Sistem ini terhitung baru di Indonesia jika dibandingkan dengan beberapa negara lain. Namun, it's better late than never. Meski baru beberapa bulan sejak Februari lalu, sudah terlihat bagaimana demand masyarakat terhadap produk-produk dari Bank Emas atau Bullion Bank ini,” ujar Nur Hidayah, Kepala CSED INDEF, dalam diskusi yang digelar pada Rabu (15/10/2025).

Menurutnya, Bank Emas bisa menjadi jembatan untuk budaya menabung masyarakat yang masih tradisional dengan sistem keuangan syariah yang modern. Hal ini akan berdampak positif terhadap sistem investasi syariah di Indonesia karena emas menyediakan stabilitas nilai, perlindungan terhadap inflasi dan medium intermediasi, serta nonribawi sehingga sesuai dengan nilai-nilai syariah.

Hanya saja, Nur melihat masih kurang optimalnya pemanfaatan Bank Emas disebabkan banyaknya pintu regulasi serta kurangnya pilihan kegiatan emas yang benar-benar sesuai syariah.

“Kalau dilihat kontribusinya masih terbatas karena regulasinya tersebar di OJK, BI, serta Bappebti, tanpa adanya single authority. Selain itu, banyak produknya belum syariah seperti jual-beli spot, bukan pembiayaan yang produktif; serta likuiditas dan pricing yang belum efisien; juga belum terhubung dengan sektor sosial syariah: zakat, infak, sedekah, wakaf, sukuk,” terangnya.

Jembatan Inklusivitas Ekonomi Masyarakat

Tidak hanya itu, emas dinilai sebagai instrumen investasi paling ramah karena bisa dimanfaatkan berbagai lapisan masyarakat serta paling dipahami masyarakat. Jika dirancang dengan biaya rendah, akses digital yang lebih inklusif, dan fitur likuiditas yang lebih cepat, Bank Emas berpotensi menjangkau kelompok-kelompok unbankable, termasuk perempuan dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah.

Beberapa kebijakan yang dapat diterapkan untuk meningkatkan inklusivitas emas adalah pembukaan tabungan emas dari satuan terkecil, seperti 0,01 gram; perlunya digital onboarding melalui agen-agen lokal untuk Bank Emas; serta integrasi fitur zakat dan wakaf. Selain itu, insentif pajak bagi tabungan emas yang produktif dinilai mampu meningkatkan ketertarikan masyarakat.

“Tidak kalah pentingnya adalah desain produk-produk emas yang inovatif, seperti gold bank saving, micro gold sukuk, dan juga wakaf emas digital. Selain itu, perlu adanya integrasi digital dengan fintech syariah dan koperasi, termasuk koperasi merah putih dan koperasi pesantren, misalnya. Selanjutnya, perlu ada program literasi dan pelindungan konsumen, serta linkage ke instrumen sosial untuk mendorong fungsi redistribusi,” ujar Nur Hidayah.

“Jadi, Bank Emas bukan sekadar tempat menabung logam mulia, melainkan instrumen inklusi dan stabilitas ekonomi syariah berbasis aset real. Sementara itu, inklusivitas sejati tercapai ketika emas menjadi pintu masuk masyarakat kecil ke sistem keuangan syariah, bukan hanya menjadi komunitas investasi bagi kalangan-kalangan elit,” pungkasnya.