Nilai tukar rupiah sempat mengalami tekanan siginfikan hingga nyaris menyentuh angka Rp17.000 per dolar AS. Bagaimana fenomena ini bisa terjadi?

Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Chatib Basri, menjelaskan bahwa fenomena pelemahan nilai tukar rupiah ini erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS). Ia mengatakan, ketika pemerintah AS membuat kebijakan meningkatkan permintaan dengan cara menurunkan pajak, agregat demand akan mengalami kenaikan. 

Ketika agregat demand naik, permintaan akan uang juga akan meningkat. Dalam hal ini, Bank Indonesia (BI) memiliki opsi untuk menaikkan supply uang yang kemudian berdampak pada interest rate di Indonesia mengalami kenaikan. Dengan interest rate Indonesia yang tinggi, pasar akan lebih tertarik untuk menempatkan uang dalam rupiah daripada dolar AS.

Baca Juga: Mengulik Kondisi Rupiah yang Terus Melemah, Mirip Krisis 1998?

Kondisi sebaliknya akan terjadi ketika agregat demand dan permintaan terhadap uang mengalami kenaikan, tetapi pada saat yang sama The Fed sebagai bank sentral AS tidak meningkatkan money supply. Akibatnya, tingkat suku bunga di AS-lah yang akan naik dan The Fed memiliki opsi untuk menurunkan suku bunga. 

"Oleh karena itu, semua bank sentral di seluruh dunia tidak bisa melakukan manuver di dalam monetary policy, kecuali The Fed menurunkan suku bunga. Orang di stock market dan bond market selalu menunggu keputusan The Fed terhadap suku bunga," tegas Chatib Basri, dilansir Olenka pada Senin, 26 Mei 2025.

Ia menambahkan, sejauh ini Gubernur The Fed berada dalam posisi untuk tidak terburu-buru menurunkan suku bunga. Sebab, jika suku bunga dolar AS mengalami peningkatan, orang akan lebih memilih menempatkan uang dalam dolar AS.

"Jika permintaan terhadap dolar AS mengalami peningkatan, apa akibatnya terhadap nilai tukar rupiah? Depresiasi, rupiah melemah mendekati Rp17.000," ungkapnya lagi. 

Kendati begitu, Chatib Basri menyebut bahwa ada ekspektasi bahwa nilai tukar rupiah akan benar-benar menyentuh Rp17.000. Sementara untuk saat ini, rupiah bergerak di sekitar Rp16.400 per dolar AS. Hal tersebut mencerminkan bahwa teori mengenai interest rate di AS tidak sepenuhnya berjalan demikian.

"Mengapa demikian? Karena teori ini mengasumsikan bahwa dolar AS adalah safe haven. Tetapi yang terjadi adalah kebijakan ekonomi dari Trump yang berkaitan dengan perang tarif membuat orang melihat bahwa berisiko untuk memegang dolar AS sehingga orang memindahkan asetnya dari dolar AS ke emas. Inilah mengapa harga emas mengalami peningkatan," tutupnya.