Kondisi mata uang Indonesia akhir-akhir ini dinilai cukup mengkhawatirkan. Bahkan, nilai tukar rupiah telah menyentuh angka Rp16.600, terendah sejak krisis moneter (krismon) yang terjadi pada 1998 sebesar Rp16.800. Hal itu diyakini disebabkan oleh faktor dari dalam dan luar negeri, seperti kebijakan Pemerintah Indonesia yang direspons negatif oleh masyarakat.
Akan tetapi, Bank Indonesia (BI) selaku regulator terkait menjelaskan bahwa kondisi rupiah saat ini berbeda dengan yang terjadi di tahun 1998. Sejumlah faktor menunjukkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini tidak seburuk saat krismon terdahulu. BI pun berjanji akan melakukan berbagai langkah strategis untuk menjaga nilai tukar rupiah.
Baca Juga: Saran Ajib Hamdani untuk Penguatan Nilai Tukar Rupiah: Harus Ada Jalan Tengah!
Nilai Tukar Rupiah Terus Melemah
Mengutip data Bank Indonesia, nilai tukar rupiah mencapai Rp16.670,94 pada Kamis, 27 Maret 2025. Nilai tukar rupiah juga menyentuh angka Rp16.600 pada penutupan perdagangan Selasa (25/3), tepatnya di level Rp16.611 per dolar Amerika Serikat (AS).
Kekhawatiran akan nilai tukar rupiah juga sudah terjadi saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat anjlok hingga hampir 7 persen pada 18 Maret 2025 lalu hingga perdagangan sempat dihentikan sementara. Bahkan, kondisi rupiah saat ini lebih buruk dibandingkan saat terjadi pandemi Covid-19 dengan berada di level Rp16.550 per dolar AS.
Mengutip CNNIndonesia.com, Presiden Direktur PT Doo Financial Futures Ariston Tjendra mengungkapkan tiga penyebab melemahnya rupiah. Pertama, kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump terhadap berbagai negara memicu kekhawatiran pasar soal perang dagang. Presiden Trump mengancam akan mengenakan tarif 25 persen kepada negara manapun yang membeli minyak dari Venezuela. "Perang dagang ini bisa memicu penurunan perdagangan global sehingga perekonomian global menurun," kata Ariston, dikutip Jumat (28/3/2025).
Penyebab selanjutnya adalah konflik perang di Timur Tengah dan di Ukraina-Rusia yang masih berlangsung. Ketiga, situasi dalam negeri yang memicu kekhawatiran masyarakat akibat kebijakan pemerintah. "Pesimisme pasar terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia menambah tekanan ke rupiah. Apalagi, daya beli masyarakat yang rendah sejak tahun lalu masih belum pulih," terangnya.
Klaim BI
BI mengungkapkan bahwa kondisi Indonesia saat ini masih lebih tangguh dibandingkan saat terjadi krismon 1998. Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Solikin M. Juhro, menegaskan bahwa pelemahan rupiah saat ini terjadi secara bertahap. Hal itu berbeda dengan kondisi di tahun 1998, di mana rupiah anjlok dari level Rp2.800 ke level Rp16.000 per dolar AS dalam waktu singkat.
"Apakah kondisi saat ini sama dengan krisis moneter 1998? Saya berani afirmasi bahwa ini masih jauh. Saat itu, cadangan devisa Indonesia hanya sekitar 20 miliar dolar AS, jauh lebih kecil dibandingkan saat ini yang mencapai 154,5 miliar dolar AS per akhir Februari 2025," ujar Solikin di Jakarta, Rabu (26/3/2025).
Dia menegaskan, sejumlah indikator makroekonomi Indonesia masih menunjukkan kondisi yang stabil, seperti produk domestik bruto (PDB), inflasi, kredit, permodalan, hingga current account dan transaksi berjalan.
Upaya Strategis
BI dan pemerintah mengaku telah memiliki mekanisme yang lebih kuat sehingga yakin nilai tukar rupiah tidak akan jatuh separah di tahun 1998. BI juga memperkuat regulasi dan mitigasi risiko dengan menerapkan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan melalui intervensi di pasar dan koordinasi kebijakan dengan pemerintah sebagai langkah mitigasi.
"Kami memastikan volatilitas tetap terkendali. BI hadir di pasar untuk mengawal stabilitas nilai tukar agar tetap sesuai dengan fundamental ekonomi," ujar Solikin.
Dia pun menegaskan bahwa kondisi yang terjadi saat ini hanya bersifat sementara, tidak mencerminkan krisis. "Penurunan ini lebih ke sentimen jangka pendek. Secara fundamental, ekonomi Indonesia masih kuat. Permintaan sektor korporasi dan rumah tangga tetap terjaga dan Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi stabil," ucapnya.
Analis Mata Uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, juga menekankan hal serupa. Menurutnya, satu-satunya cara yang bisa dilakukan Pemerintah Indonesia adalah mendukung BI meredam tekanan lebih dalam terhadap rupiah sembari menjaga belanja agar APBN tak makin boncos.
"BI mesti terus intervensi. Pemerintah harus menjaga pengeluaran dan menjaga defisit," tegas Lukman, mengutip CNNIndonesia.com.