Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang menaikkan tarif pajak impor bagi Indonesia dinilai telah memengaruhi nilai tukar rupiah. Dalam rentang dua hari terakhir, nilai tukar rupiah mengalami tekanan di pasar Non Deliverable Forward (NDF), yaitu nilai tukar yang digunakan dalam kontrak berjangka valuta asing (valas), ke angka Rp17.200 per US dolar. Kondisi ini sejalan dengan pelemahan nilai tukar rupiah di pasar spot exchange yang menyentuh angka Rp16.800 dan terus mengalami fluktuasi.

Ajib Hamdani, Analis Kebijakan Ekonomi APINDO, menjabarkan setidaknya tiga (3) faktor penyebab melemahnya nilai tukar rupiah. Faktor pertama adalah ekonomi global dan kebijakan Presiden Donald Trump yang menaikkan tarif pajak. Menurut Ajib, hal ini akan membuat konstraksi neraca dagang Indonesia-Amerika yang pada tahun 2024 mencapai surplus lebih dari US$16 miliar.

Baca Juga: Gara-Gara Kebijakan Tarif AS, Rupiah Diprediksi Tertekan

"Kedua, tingkat keyakinan pasar global atas ekonomi dalam negeri Indonesia. Salah satu indikatornya adalah tekanan terhadap nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang anjlok lebih dari 9% begitu perdagangan bursa dibuka pada 8 April 2025. Nilai kapitalisasi pasar uang yang mencapai lebih dari 12 ribu triliun menjadi indikator paling objektif bagaimana pasar melihat dan merespon kebijakan-kebijakan pemerintah," tegasnya, Selasa (8/4/2025).

Sementara itu, faktor ketiga adalah kebijakan ekonomi Indonesia yang menganut defisit fiskal sehingga setiap isu pengelolaan keuangan negara akan memengaruhi dan sekaligus terpengaruh oleh fluktuasi nilai tukar. Selama tahun 2025, belanja negara dirpoyeksi menelan biaya lebih dari Rp3.600 triliun, ditopang oleh utang lebih dari Rp600 triliun untuk tahun berjalan.

Merespons pelemahan rupiah yang terjadi, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdhan Denny Prakosa, pada Senin 7 April 2025, menyampaikan bahwa Bank Indonesia secara berkesinambungan melakukan intervensi di pasar NDF serta mitigasi crowding out dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Selain itu, BI akan mengoptimalkan instrumen likuiditas rupiah untuk memastikan kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan domestik.

Menurut Ajib, indikator ekonomi makro domestik Indonesia sebenarnya realtif stabil. Tingkat suku bunga acuan berada di angka 5,75% dan inflasi masih di rentang kendali di bawah 2,5%. Faktor lain penentu stabililitas mata uang, dalam hal ini faktor politik, juga relatif stabil dengan dimulainya pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto.

Proyeksi yang dibuat oleh pemerintah dalam Kerangka Ekonomi Makro, untuk sepanjang tahun 2025, nilai tukar rupiah di kisaran Rp16.000 per US dolar. Dengan begitu, ketika rupiah mengalami pelemahan menuju Rp17.000, hal itu akan membawa dampak terhadap kebijakan moneter dan fiskal sekaligus.

"Pemerintah harus membuat penyesuaian kebijakan-kebijakan fiskal maupun moneter untuk memitigasi fluktuasi yang ada," tegasnya.

Langkah Mitigasi

Pemerintah, dinilai Ajib Hamdani, bisa melakukan setidaknya empat (4) langkah sebagai mitigasi jangka pendek maupun jangka panjang, di luar kebijakan fiskal dan moneter. Pertama, Pemerintah Indonesia diminta melanjutkan program optimalisasi Devisa Hasil Ekspor (DHE) sambil tetap memberikan insentif terbaik agar dunia usaha tetap berjalan dan tidak kekurangan likuiditas. Kedua, fokus dengan program orientasi ekspor dan substitusi impor.

"Ketiga, mendorong peningkatan nilai tambah atas komoditas-komoditas unggulan, terutama di sektor pertanian, perkebunan dan maritim. Keempat, mendorong kebijakan revitalisasi sektor padat karya dan deregulasi. Hal ini diharapkan bisa menekan high cost economy yang membebani dunia usaha dan bisa meningkatkan daya saing," tegasnya.

Presiden Prabowo Subianto diminta cermat dalam melakukan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah dengan program-program kebijakan yang terukur dan pro dengan dunia usaha. "Dengan kompleksitas ekonomi yang ada, rupiah mengalami fluktuasi dan tekanan nilai yang luar biasa, pemerintah harus bisa membuat langkah-langkah untuk stabilisasi nilai tukar dengan program-program kebijakan yang terukur dan pro dengan dunia usaha," pungkas Ajib.