Head of Payment System Implementation Department Bank Indonesia (BI), Farida Peranginangin, mengatakan, ekosistem pembayaran Indonesia kini berada dalam fase transformasi besar. Misalnya, percepatan penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang merupakan salah satu instrumen pembayaran terfavorit masyarakat.
Per September 2025, transaksi QRIS dalam negeri mencapai 10,33 miliar, tumbuh 147,65 persen secara year-on-year (yoy). QRIS sudah digunakan oleh 58 juta konsumen dan 41 juta merchant, dan diproyeksi masih akan terus bertumbuh.
Farida pun lantas memaparkan berbagai langkah konkret BI dalam memperkuat keamanan sistem keuangan, seperti penerbitan peraturan BI terkait keamanan sistem informasi dan ketahanan siber untuk standar tata kelola dan manajemen risiko. Lalu, pengoperasian sistem fast payment dengan pemantauan transaksi real-time, deteksi penipuan, dan respons insiden segera.
“BI juga melakukan penguatan mitigasi risiko fraud, ketahanan cyber industri, serta penyiapan berbagai ketentuan strategis untuk memastikan kesiapan menghadapi ancaman operasional,” ungkap Farida, saat acara ‘Wibmo Executive Circle 2025: Securing Indonesia’s Financial Security’, yang digelar di The Westin Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Penguatan ini juga, kata dia, berjalan seiring dengan kebijakan lintas lembaga, seperti POJK tentang manajemen risiko TI, program digital security awareness, standar keamanan cyber dari BSSN, serta kebijakan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) terkait penanganan akun fraud.
“Langkah-langkah ini membentuk fondasi kokoh bagi tumbuhnya kepercayaan publik. Karena pada akhirnya, keamanan adalah mata uang dari kepercayaan itu sendiri,” paparnya.
Meski berbagai kemajuan signifikan telah dicapai, Farida menegaskan bahwa masih banyak tantangan yang harus dihadapi bersama. Menurutnya, fragmentasi standar keamanan antar lembaga keuangan masih terjadi, sementara kebutuhan akan talenta keamanan siber tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan ketersediaan tenaga ahli yang kompeten.
Di saat yang sama, kata dia, ancaman siber lintas negara semakin kompleks dan sulit diprediksi, menambah tekanan bagi industri untuk terus beradaptasi.
“Tantangan lainnya adalah menjaga keseimbangan antara laju inovasi digital dan perlindungan keamanan maupun privasi data, yang menjadi semakin krusial di tengah percepatan transformasi teknologi. Namun, tantangan tersebut dapat menjadi peluang bila disikapi dengan pola pikir yang tepat dan kolaborasi erat,” terang Farida.
Baca Juga: Bank Indonesia: Keamanan Siber adalah Fondasi Kepercayaan Publik dan Ketahanan Nasional
Lebih lanjut, Farida memaparkan bahwa industri perlu mengakselerasi empat langkah strategis untuk memperkuat ketahanan sektor keuangan. Ia pun menekankan pentingnya memperkuat kerangka ketahanan siber nasional melalui penyelarasan standar keamanan di seluruh lembaga keuangan serta pengujian berkelanjutan.
Menurutnya juga, kolaborasi dan pertahanan kolektif juga menjadi kunci, karena tidak ada satu pun lembaga yang mampu menghadapi ancaman siber secara mandiri.
“Selain itu, investasi pada sumber daya manusia dan penguatan budaya keamanan dianggap krusial, mengingat teknologi tidak akan berarti tanpa profesional yang kompeten dan berintegritas,” ungkapnya.
Tak hanya itu, lanjut Farida, prinsip security by design juga harus diterapkan pada setiap inovasi, mulai dari produk hingga kanal pembayaran, agar keamanan menjadi bagian integral dari perkembangan digital.
Farida pun lantas menegaskan bahwa masa depan sistem pembayaran dan industri keuangan Indonesia hanya dapat dibangun di atas tiga pilar utama, yaitu keamanan, kolaborasi, dan inovasi. Ketiga prinsip ini dinilainya tidak hanya penting untuk menjaga stabilitas, tetapi juga menjadi fondasi bagi keberlanjutan transformasi digital nasional.
Farida menambahkan bahwa tantangan keamanan digital saat ini begitu kompleks sehingga tidak mungkin ditangani oleh satu lembaga saja. Menurutnya, kolaborasi menjadi kunci ketahanan sektor keuangan.
“Tidak ada satu lembaga pun yang dapat menghadapi ancaman itu sendirian. Sinergi antara otoritas, industri, dan masyarakat menjadi kunci dalam menjaga ketangguhan bersama,” tegasnya.
Selain dua pilar tersebut, Farida menegaskan bahwa inovasi dan keamanan harus berjalan beriringan. Ia pun menolak anggapan bahwa perkembangan digital harus mengorbankan faktor keamanan.
“Kita tidak perlu memilih dan tidak sepatutnya memilih antara maju atau aman. Menjaga keamanan sistem pembayaran dan industri keuangan Indonesia bukan tanggung jawab satu lembaga semata, melainkan misi bersama seluruh bangsa,” kata Farida.
Ia pun meyakini bahwa jika Indonesia mampu memadukan inovasi yang aman, kolaborasi yang efektif, dan kemampuan merespons ancaman dengan cepat, maka negara ini dapat menjadi teladan di kancah global.
Farida bahkan mengutip pandangan Agustín Carstens dari Bank for International Settlements yang menyatakan bahwa “No single institution can ensure resilience alone. It requires cooperation, transparency, and trust.”
Menutup pemaparannya, Farida mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk terus berjalan bersama memperkuat ketahanan ekosistem keuangan digital Indonesia.
“Mari kita lanjutkan perjalanan ini bersama untuk membangun sistem pembayaran dan industri keuangan yang tidak hanya inovatif dan inklusif, tetapi juga tangguh dan aman,” pungkasnya.