Menurut laporan UN Women, diperkirakan bahwa pada tahun 2050 mendatang, perubahan iklim akan mendorong lebih dari 158 juta perempuan dan anak perempuan ke dalam jurang kemiskinan, serta memicu kerawanan pangan terhadap lebih dari 236 juta orang di seluruh dunia. Sayangnya, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP28 di Uni Emirat Arab (UAE), hanya 68 negara yang bersuara mendukung hubungan intrinsik antara kesetaraan gender dan transisi iklim yang adil.

Laporan Indeks Risiko Iklim Global 2021 menyebutkan, sebagian besar negara yang paling terdampak perubahan iklim adalah negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, yang perekonomiannya sangat bergantung pada sektor pertanian dan sistem pangan berbasis pertanian (agri-food). Padahal, sistem agri-food global memainkan peran yang lebih penting dalam mata pencaharian perempuan dibandingkan laki-laki di banyak negara yang bergantung pada pertanian, khususnya bagi perempuan muda usia 15-24 tahun. Misalnya, di Asia Selatan, diketahui 71% perempuan terlibat dalam sektor agri-food, dibandingkan dengan pria hanya sebesar 47%.

Baca Juga: Kantongi Pendanaan US$2,7 Juta, Jejakin Percepat Aksi Mitigasi Iklim dengan Teknologi

"Di Sri Lanka, perempuan lanjut usia juga diketahui bergantung pada sektor agri-food ketika sumber pendapatan lain tertutup bagi mereka. Terlepas dari peran dan kontribusi mereka yang signifikan, perempuan sering kali menghadapi kondisi kerja yang menantang dan terbatasnya peluang ekonomi karena ketidaksetaraan gender yang meluas," terang Monash University, Indonesia dalam keterangan tertulisnya, dikutip Selasa (14/5/2024).

Di sisi lain, dampak hilangnya mata pencaharian akibat perubahan iklim juga menyebabkan laki-laki meninggalkan lahan pertaniannya, meninggalkan perempuan yang harus bergulat dengan norma-norma tradisional dan kerangka hukum yang sering kali mendiskriminasi akses mereka terhadap sumber daya penting seperti tanah, air, subsidi pertanian, asuransi, dan kredit.

Iklim, Ketidakamanan Ekonomi, dan Kesehatan

Dampak perubahan iklim terhadap gender dan ketidakamanan ekonomi pada akses kesehatan perlu dipahami lebih lanjut. Meskipun hilangnya mata pencaharian yang disebabkan oleh perubahan iklim berdampak langsung terhadap kesehatan semua orang, ada beberapa dampak gender yang memengaruhi kesehatan perempuan.

Mengingat ketergantungan petani pada pekerjaan pertanian di luar ruang, dan dengan mempertimbangkan perbedaan fisiologis, risiko kesehatan yang berhubungan dengan cuaca panas lebih banyak memengaruhi perempuan dibandingkan laki-laki. Kondisi ini bahkan dikaitkan dengan peningkatan angka komplikasi kehamilan.

Selain itu, kerusakan infrastruktur, hambatan geografis dan minimnya bantuan keuangan juga menciptakan hambatan besar bagi perempuan untuk mendapatkan layanan kesehatan yang penting dan tepat waktu, khususnya hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) mereka. Perempuan terpaksa menunda atau mengabaikan pelayanan kesehatan sehingga mengakibatkan komplikasi kehamilan, keguguran, buruknya perencanaan keluarga dan penggunaan kontrasepsi, kesalahan penanganan penyakit kronis, dan kekerasan dalam rumah tangga.

Kesulitan ekonomi yang diperburuk oleh krisis iklim sering kali memaksa rumah tangga yang bergantung pada pertanian dibangun dari praktik-praktik tradisional seperti mahar (harta dari mempelai laki-laki) dan harta sesan (harta bawaan mempelai perempuan).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa di negara-negara seperti Vietnam dan India, tekanan ekonomi dapat memaksa remaja perempuan melakukan pernikahan dini, yang mengakibatkan putus sekolah, kehamilan di bawah umur, serta meningkatnya kekerasan berbasis gender dan pembunuhan terhadap perempuan.