Bisnis Dilanjutkan Sang Anak
Dikutip dari Merdeka.com, pada tahun 1942, kediaman Sampoerna hancur lebur dijajah pemerintah Jepang. Selain hartanya habis dirampas., mereka sekeluarga pun ditahan di kamp pengasingan. Hingga akhirnya di tahun 1945, Sampoerna dan keluarga berkumpul kembali dan merenovasi kediaman mereka yang sudah hancur lebur.
Di tengah perjuangannya membangun kehidupan lagi dari nol, kerajaan bisnis Sampoerna pun kemudian dilanjutkan oleh anak keduanya, yaitu Swie Ling alias Aga Sampoerna, saat Liem meninggal pada tahun 1956.
Sejatinya, bisnis tersebut dikelola oleh anak pertama, yakni Liem Swie Hwa alias Adi Sampoerna. Namun, Adi Sampoerna telah memiliki bisnis dan lebih mapan.
Dikutip dari Wikipedia, Aga kemudian mengambil alih kendali PT HM Sampoerna dan membangkitkan kembali perusahaan tersebut dengan manajemen yang lebih baik. Sebelumnya, Aga juga sebenarnya sudah merintis bisnisnya sendiri, juga di bidang rokok dengan nama "Panamas" lewat PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas yang didirikan pada 19 Oktober 1963 dan berbasis di Bali.
Aga lalu memindahkan pabrik PT Handel Maatschappij Sampoerna ke Malang dan merintis semuanya kembali dari nol, dengan fokus pada bisnis Sampoerna meskipun ia sudah memiliki usahanya sendiri sebelumnya. Di bawah komando Aga, seiring waktu, merek Dji Sam Soe terus berkembang.
Puluhan tahun kemudian, PT HM Sampoerna sudah memiliki 1.200 karyawan dan produksinya mencapai 1,3 juta batang/hari. Aga berprinsip bahwa semua rokok yang diproduksi perusahaan, harus laku dijual pada hari itu juga. Maka, dengan segala upaya, rokok Sampoerna terjual 2,5 juta batang/hari dan mendatangkan keuntungan US$ 250.000/bulan.
Kemudian di tahun 1977, generasi ketiga Sampoerna, Putera Sampoerna, yang tidak lain adalah putra dari Aga, masuk ke dalam bisnis dan melakukan modernisasi distribusi dan kinerja perusahaan.
Putera kemudian membuat banyak terobosan dan modernisasi di berbagai sektor, seperti membangun pabrik baru seluas 153 hektar yang memproduksi rokok secara terpadu dan modern serta membeli tembakau langsung dari petani.
Putera dan Aga kemudian juga mendiversifikasi usaha keluarga Sampoerna ke bidang transportasi, percetakan, periklanan, perdagangan, dan lainnya. Tercatat, Sampoerna juga sampai memiliki saham di perusahaan supermarket Alfa, memiliki Sampoerna Bank dan terjun ke industri mebel. Putera juga berusaha mengembangkan sistem keagenan dan distribusi secara intensif dan membeli mesin-mesin produksi kretek baru.
Dan kini, Dji Sam Soe pun dikendalikan oleh generasi keempat Sampoerna, yakni Michael Sampoerna, yang tak lain adalah anak dari Putera Sampoerna.
Baca Juga: Kisah Sukses Ikon Restoran Bakmi Indonesia, Bakmi GM: Berangkat dari Warung Pinggir Jalan
Milestone Usaha
Pada tahun 1913, Handel Matschappij Liem Seeng Tee NV berdiri sebagai cikal bakal Dji Sam Soe, yang mana kata tersebut berasal dari dialek Hokkien. Dji Sam Soe diperkenalkan oleh Liem Seeng Tee pada tahun 1913 dan diproduksi melalui pabrik di Surabaya, Jawa Timur.
Menurut Garda Maeswara, pada tahun 1916, Liem Seeng Tee sempat membeli tembakau dari seorang pedagang tembakau yang bangkrut.
Pada tahun 1940, penjualan Dji Sam Soe tumbuh pesat dengan hasil produksi mencapai 3 juta batang, sehingga jumlah pekerja untuk melinting rokok Dji Sam Soe ditingkatkan menjadi 1.300 orang.
Pada tahun 1956, Liem Seeng Tee wafat dan digantikan oleh putranya, Liem Swee Ling alias Aga Sampoerna.
Perseroan kemudian didirikan pada tahun 1963 dengan mengganti nama Belanda tersebut menjadi PT Hanjaya Mandala (HM) Sampoerna.
PT HM Sampoerna mengembangkan berbagai produk dengan meluncurkan Sampoerna Hijau pada tahun 1968, namun Sampoerna Hijau sempat kurang terkenal dibandingkan Minak Djinggo, produk asal Kudus dengan kemasannya yang tahan air.
Selanjutnya, pada tahun 1977, generasi ketiga Sampoerna, yakni Putra Sampoerna masuk ke jajaran pimpinan perusahaan dan berhasil memodernisasi produksi dan distribusi. Perusahaan yang semakin besar membutuhkan dana yang semakin besar juga. Akhirnya, Putra memutuskan untuk melakukan IPO atau penawaran umum perdana untuk listing di bursa saham Indonesia pada tahun 1990.
Menurut majalah Asiaweek, beberapa tahun setelah PT HM Sampoerna memasuki bursa saham, PT HM Sampoerna mendirikan anak perusahaan di luar negeri, yaitu Transmarco di Singapura.
Pada Oktober 1988, keluarga Sampoerna melakukan restrukturisasi terhadap usaha rokok miliknya. PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas, milil Aga, mengambil alih aset, operasional dan merek (seperti Dji Sam Soe dan Sampoerna Hijau) dari PT Handel Maatschappij Sampoerna.
PT PD dan Industri Panamas kemudian berganti nama menjadi namanya saat ini, yaitu PT Hanjaya Mandala Sampoerna di waktu yang sama. Belakangan, didirikan perusahaan baru yang bernama sama (PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas) pada 8 Juli 1989 yang saat ini merupakan anak usaha HM Sampoerna di bidang distribusi).
Pada tahun 1990-an, Dji Sam Soe mengembangkan produk alternatif melalui mesin sigaret kretek, Dji Sam Soe Fatsal-9, dengan menurunkan kadar tar sebanyak 6 miligram menjadi 33 miligram. Dji Sam Soe juga memperluas jaringan ekspor secara agresif di Malaysia dan Myanmar pada tahun 1995.
Kemudian, pada tahun 1994, Aga Sampoerna pun wafat. Wafatnya Aga Sampoerna ini kemudian dimanfaatkan Putera Sampoerna untuk memasukkan profesional dari luar lingkungan Sampoerna menjadi pimpinan perusahaan dan merealisasikan apa yang ia inginkan bagi perusahaan ini.
Pada periode 2000-an, Dji Sam Soe memperkuat dan mengembangkan produk, terutama segmen menengah ke atas dengan memperkenalkan Dji Sam Soe Super Premium dan Magnum Filter pada tahun 2004.
Lalu, pada tahun 2001 generasi keempat, yaitu Michael Sampoerna masuk ke jajaran pimpinan perusahaan. Selang 4 tahun kemudian, seperti yang dijelaskan oleh Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam buku "Liem Sioe Liong dan Salim Group", bisnis rokok legendaris itupun akhirnya dijual kepada Philip Morris pada tahun 2005. Padahal pada saat itu Sampoerna menjadi penguasa pasar rokok di Indonesia dengan pangsa pasar 25%.
Philip Morris sendiri adalah produsen rokok asal Amerika Serikat dengan keahlian pada produk rokok putih seperti Marlboro, Virginia Slims, dan Benson & Hedges. Dari awalnya hanya mengakuisisi 40% saham Putera, dengan tender offer, kepemilikan Philip Morris di perusahaan ini mencapai 97% pada 18 Mei 2005.
Baca Juga: Kisah Sukses Tehbotol Sosro: dari Jualan di Pasar, Kini Produk Minuman Ikonik Ini Mendunia