Bagi para perokok, nama rokok dengan merek Dji Sam Soe mungkin sangatlah familiar. Rokok ini diproduksi oleh PT Sampoerna HM Tbk, perusahaan yang beroperasi 111 tahun sejak didirikan pada tahun 1913 di Surabaya, Jawa Timur.

Dji Sam Soe merupakan rokok kretek pertama kali beredar di Tanah Air. Rokok ini juga merupakan produk utama Sampoerna yang kemasannya tidak mengalami perubahan sejak sekitar tahun 1914 hingga 2000.

Namun siapa sangka, di balik nama besar Dji Sam Soe dalam bisnis kretek di Tanah Air, ternyata terdapat kisah perjuangan seorang pria yang bernama Liem Seeng Tee.

Selama bertahun-tahun, produk ini menjadi “King of Kretek” dan menjadi tulang punggung Sampoerna terutama sebelum diakuisisi oleh Philip Morris. Dji Sam Soe juga telah menemani perjalanan perusahaan selama empat generasi.

Lantas, bagaimana jejak sejarah dan kisah sukses rokok kretek Dji Sam Soe ini? Dilansir dari berbagai sumber, Senin (16/12/2024), berikut Olenka ulas kisah selengkapnya.

Sosok Liem Seeng Tee dan Cikal Bakal Rokok Dji Sam Soe

Cikal bakal rokok legendaris ini bermula ketika bocah laki-laki yang bernama Lim Seeng Tee. Liem Seeng Tee diketahui lahir pada tahun 1893 dari keluarga miskin yang berada di provinsi Fujian Tiongkok. Pada tahun 1897, saat Liem kecil masih berusia 4 tahun, ia harus rela kehilangan ibunya karena meninggal dalam keadaan musim dingin. 

Saat ia berusia 5 tahun, Liem kecil pun merantau bersama ayah dan kakak perempuannya dengan menumpang kapal dagang. Setelah berminggu-minggu melalui perjalanan, akhirnya mereka sampai di Singapura. Di Singapura, Lim dan ayahnya harus merelakan kakak perempuan Lim diadopsi oleh keluarga di sana, karena tuntutan ekonomi.

Liem Seeng Tee dan ayahnya kemudian melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur dan tiba di Surabaya. Enam bulan tiba di Surabaya, sang ayah meninggal dunia. Liem pun kemudian diadopsi oleh keluarga Hokkien sederhana yang ada di Surabaya. Nama Liem pun kemudian diganti menjadi Sampoerna seiring peraturan dari pemerintah saat itu.

Di usia 11 tahun, Liem yang sudah memiliki nama Sampoerna meninggalkan rumah keluarga angkatnya untuk bekerja di sebuah restoran kecil. Singkat cerita, pada 1912, Lim Seeng Tee menikah dengan Siem Tjiang Nio.

Uang dari hasil dagang makanan di kereta Surabaya-Jakarta pun ia kembangkan membangun warung kelontong yang dioperasikan oleh sang istri. Sementara, Liem alias Sampoerna tetap berdagang di kereta.

Satu waktu, Sampoerna mendapat tawaran bekerja di Lamongan, untuk meracik dan menggulung rokok. Tawaran itu kemudian diterima. Sejak saat itu, Sampoerna rela bolak-balik Surabaya-Lamongan, karena upah bekerja sebagai buruh rokok cukup besar saat itu.

Pada tahun 1913, Sampoerna pun lantas menjual rokok hasil racikannya di warung kelontong yang dia bangun. Warung itu kemudian diberi nama Handelman Maatschappij (HM) Liem Seeng Tee.

Seiring waktu, kepandaian Sampoerna meracik rokok pun membuat penjualan rokok racikannya meningkat. Ia pun kemudian memberi nama rokok hasil racikanmya bernama Dji Sam Soe.

Kemudian, ketika Lim beserta istrinya telah memiliki kehidupan yang berkecukupan, mereka akhirnya membeli sebuah gedung bekas yayasan panti asuhan. Gedung seluas 1,5 hektar tersebut Lim gunakan sebagai tempat dan fasilitas untuk memproduksi rokok Sampoerna. Sejak saat itu, kawasan ini dikenal dengan nama Pabrik Taman Sampoerna dan terus beroperasi hingga saat ini.

Di kompleks tersebut ada sebuah aula besar yang Lim jadikan sebagai bioskop pada 1932 hingga 1961. Bahkan, artis Charlie Chaplin pun pernah menyambangi bioskop ini ketika ia mengunjungi Kota Surabaya.

Baca Juga: Kisah Martha Tilaar Membangun Brand Sariayu: Bermula dari Garasi, Kini Produknya Tersohor Hingga Luar Negeri

Bisnis Dilanjutkan Sang Anak

Dikutip dari Merdeka.com, pada tahun 1942, kediaman Sampoerna hancur lebur dijajah pemerintah Jepang. Selain hartanya habis dirampas., mereka sekeluarga pun ditahan di kamp pengasingan. Hingga akhirnya di tahun 1945, Sampoerna dan keluarga berkumpul kembali dan merenovasi kediaman mereka yang sudah hancur lebur.

Di tengah perjuangannya membangun kehidupan lagi dari nol, kerajaan bisnis Sampoerna pun kemudian dilanjutkan oleh anak keduanya, yaitu Swie Ling alias Aga Sampoerna, saat Liem meninggal pada tahun 1956.

Sejatinya, bisnis tersebut dikelola oleh anak pertama, yakni Liem Swie Hwa alias Adi Sampoerna. Namun, Adi Sampoerna telah memiliki bisnis dan lebih mapan.

Dikutip dari Wikipedia, Aga kemudian mengambil alih kendali PT HM Sampoerna dan membangkitkan kembali perusahaan tersebut dengan manajemen yang lebih baik. Sebelumnya, Aga juga sebenarnya sudah merintis bisnisnya sendiri, juga di bidang rokok dengan nama "Panamas" lewat PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas yang didirikan pada 19 Oktober 1963 dan berbasis di Bali.

Aga lalu memindahkan pabrik PT Handel Maatschappij Sampoerna ke Malang dan merintis semuanya kembali dari nol, dengan fokus pada bisnis Sampoerna meskipun ia sudah memiliki usahanya sendiri sebelumnya. Di bawah komando Aga, seiring waktu, merek Dji Sam Soe terus berkembang.

Puluhan tahun kemudian, PT HM Sampoerna sudah memiliki 1.200 karyawan dan produksinya mencapai 1,3 juta batang/hari. Aga berprinsip bahwa semua rokok yang diproduksi perusahaan, harus laku dijual pada hari itu juga. Maka, dengan segala upaya, rokok Sampoerna terjual 2,5 juta batang/hari dan mendatangkan keuntungan US$ 250.000/bulan.

Kemudian di tahun 1977, generasi ketiga Sampoerna, Putera Sampoerna, yang tidak lain adalah putra dari Aga, masuk ke dalam bisnis dan melakukan modernisasi distribusi dan kinerja perusahaan.

Putera kemudian membuat banyak terobosan dan modernisasi di berbagai sektor, seperti membangun pabrik baru seluas 153 hektar yang memproduksi rokok secara terpadu dan modern serta membeli tembakau langsung dari petani.

Putera dan Aga kemudian juga mendiversifikasi usaha keluarga Sampoerna ke bidang transportasi, percetakan, periklanan, perdagangan, dan lainnya. Tercatat, Sampoerna juga sampai memiliki saham di perusahaan supermarket Alfa, memiliki Sampoerna Bank dan terjun ke industri mebel. Putera juga berusaha mengembangkan sistem keagenan dan distribusi secara intensif dan membeli mesin-mesin produksi kretek baru.

Dan kini, Dji Sam Soe pun dikendalikan oleh generasi keempat Sampoerna, yakni Michael Sampoerna, yang tak lain adalah anak dari Putera Sampoerna.

Baca Juga: Kisah Sukses Ikon Restoran Bakmi Indonesia, Bakmi GM: Berangkat dari Warung Pinggir Jalan

Milestone Usaha

Pada tahun 1913, Handel Matschappij Liem Seeng Tee NV berdiri sebagai cikal bakal Dji Sam Soe, yang mana kata tersebut berasal dari dialek Hokkien. Dji Sam Soe diperkenalkan oleh Liem Seeng Tee pada tahun 1913 dan diproduksi melalui pabrik di Surabaya, Jawa Timur.

Menurut Garda Maeswara, pada tahun 1916, Liem Seeng Tee sempat membeli tembakau dari seorang pedagang tembakau yang bangkrut.

Pada tahun 1940, penjualan Dji Sam Soe tumbuh pesat dengan hasil produksi mencapai 3 juta batang, sehingga jumlah pekerja untuk melinting rokok Dji Sam Soe ditingkatkan menjadi 1.300 orang.

Pada tahun 1956, Liem Seeng Tee wafat dan digantikan oleh putranya, Liem Swee Ling alias Aga Sampoerna.

Perseroan kemudian didirikan pada tahun 1963 dengan mengganti nama Belanda tersebut menjadi PT Hanjaya Mandala (HM) Sampoerna.

PT HM Sampoerna mengembangkan berbagai produk dengan meluncurkan Sampoerna Hijau pada tahun 1968, namun Sampoerna Hijau sempat kurang terkenal dibandingkan Minak Djinggo, produk asal Kudus dengan kemasannya yang tahan air.

Selanjutnya, pada tahun 1977, generasi ketiga Sampoerna, yakni Putra Sampoerna masuk ke jajaran pimpinan perusahaan dan berhasil memodernisasi produksi dan distribusi. Perusahaan yang semakin besar membutuhkan dana yang semakin besar juga.  Akhirnya, Putra memutuskan untuk melakukan IPO atau penawaran umum perdana untuk listing di bursa saham Indonesia pada tahun 1990. 

Menurut majalah Asiaweek, beberapa tahun setelah PT HM Sampoerna memasuki bursa saham, PT HM Sampoerna mendirikan anak perusahaan di luar negeri, yaitu Transmarco di Singapura.

Pada Oktober 1988, keluarga Sampoerna melakukan restrukturisasi terhadap usaha rokok miliknya. PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas, milil Aga, mengambil alih aset, operasional dan merek (seperti Dji Sam Soe dan Sampoerna Hijau) dari PT Handel Maatschappij Sampoerna.

PT PD dan Industri Panamas kemudian berganti nama menjadi namanya saat ini, yaitu PT Hanjaya Mandala Sampoerna di waktu yang sama. Belakangan, didirikan perusahaan baru yang bernama sama (PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas) pada 8 Juli 1989 yang saat ini merupakan anak usaha HM Sampoerna di bidang distribusi).

Pada tahun 1990-an, Dji Sam Soe mengembangkan produk alternatif melalui mesin sigaret kretek, Dji Sam Soe Fatsal-9, dengan menurunkan kadar tar sebanyak 6 miligram menjadi 33 miligram. Dji Sam Soe juga memperluas jaringan ekspor secara agresif di Malaysia dan Myanmar pada tahun 1995.

Kemudian, pada tahun 1994, Aga Sampoerna pun wafat. Wafatnya Aga Sampoerna ini kemudian dimanfaatkan Putera Sampoerna untuk memasukkan profesional dari luar lingkungan Sampoerna menjadi pimpinan perusahaan dan merealisasikan apa yang ia inginkan bagi perusahaan ini.

Pada periode 2000-an, Dji Sam Soe memperkuat dan mengembangkan produk, terutama segmen menengah ke atas dengan memperkenalkan Dji Sam Soe Super Premium dan Magnum Filter pada tahun 2004.

Lalu, pada tahun 2001 generasi keempat, yaitu Michael Sampoerna masuk ke jajaran pimpinan perusahaan. Selang 4 tahun kemudian, seperti yang dijelaskan oleh Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam buku "Liem Sioe Liong dan Salim Group", bisnis rokok legendaris itupun akhirnya dijual kepada Philip Morris pada tahun 2005. Padahal pada saat itu Sampoerna menjadi penguasa pasar rokok di Indonesia dengan pangsa pasar 25%.

Philip Morris sendiri adalah produsen rokok asal Amerika Serikat dengan keahlian pada produk rokok putih seperti Marlboro, Virginia Slims, dan Benson & Hedges. Dari awalnya hanya mengakuisisi 40% saham Putera, dengan tender offer, kepemilikan Philip Morris di perusahaan ini mencapai 97% pada 18 Mei 2005.

Baca Juga: Kisah Sukses Tehbotol Sosro: dari Jualan di Pasar, Kini Produk Minuman Ikonik Ini Mendunia

Inovasi Produk

Dji Sam Soe pernah mengeluarkan kemasan khusus yang terbuat dari alumunium, yakni "Dji Sam Soe Masterpiece" pada tahun 2008 dan "Dji Sam Soe Citarasa Legendaris" pada tahun 2012.

Dji Sam Soe juga meningkatkan kompetensi di bidang sigaret kretek tangan melalui Dji Sam Soe Gold, namun merek tersebut juga terhenti di tengah jalan. Sukses menjadi merek sigaret kretek tangan tersukses di tanah air, Dji Sam Soe mulai berinovasi dengan menghadirkan mesin sigaret kretek pertama.

Produk sigaret kretek mesin pertama Dji Sam Soe adalah Dji Sam Soe Filter dalam kategori SKM Full Flavour. Untuk mempelajari kegagalan Dji Sam Soe Filter, pada tahun 2005 diluncurkanlah Dji Sam Soe Super Premium Magnum Filter (sejak 2011 Magnum Filter menjadi merek tersendiri). Magnum Filter langsung sukses di pasaran setelah tahun 2011 dan sampai saat ini masih banyak peminatnya.

Dji Sam Soe kemudian meluncurkan sigaret kretek mesin baru yang rendah tar dan rendah nikotin (LTLN), yaitu Magnum Blue yang kemudian berganti nama menjadi Magnum Mild. Di bidang sigaret kretek, Dji Sam Soe pun menghadirkan A Mild pada tahun 1990 dan U Mild pada tahun 2004.

Pada tahun 2022, Dji Sam Soe meluncurkan kembali SKM Full Flavor terbaru mereka, yakni Magnum Classic. Sayangnya, produksi Magnum Classic tidak berlangsung lama dimana di awal tahun 2023 produksi rokok ini dihentikan. Sehingga untuk produk SKM Full Flavour milik HM Sampoerna hanya tersisa Dji Sam Soe Magnum Filter dan Marlboro Filter Black saja.

Sejak 27 Agustus 2023, merek Dji Sam Soe Magnum Mild dileburkan ke dalam lini Sampoerna A sebagai Sampoerna A Ultramild yang sudah terlebih dulu menjadi pengganti dari U Mild. Dengan dileburnya Dji Sam Soe Magnum Mild menjadi Sampoerna A Ultramild, maka Sampoerna A menjadi satu-satunya lini SKM LTLN milik HM Sampoerna.

Selain Dji Sam Soe 234, HM Sampoerna juga pernah memproduksi rokok kretek dengan merek 123, 720, dan 678. Pabrik Sampoerna awalnya juga meluncurkan merek seperti Sampoerna Star, Summer Palace, Statue of Liberty. Sampoerna Star dianggap sebagai rokok berfilter pertama di Indonesia.

Kini, Dji Sam Soe sudah menjadi sebuah "Mahakarya Indonesia" selama lebih dari 100 tahun masa produksinya. Dji Sam Soe kini menjadi sebuah merek andalan bagi Sampoerna yang menyasar segmen premium, sementara Sampoerna A Kretek menjadi andalan Sampoerna yang menyasar segmen menengah ke bawah.

Baca Juga: Kisah Dato Sri Tahir Merintis dan Membesarkan Bank Mayapada

Kunci Sukses

Dji Sam Soe adalah merk langka di Indonesia yang mampu bertahan bahkan semakin perkasa dari zaman ke zaman. Merek yang tak lekang oleh waktu selama lebih dari satu abad, tangguh menghadapi perubahan lingkungan bisnis yang berubah dengan cepat.

Dji Sam Soe juga dinilai mampu mempertahankan kinerja secara konsisten di saat terjadi perubahan regulasi, ekonomi-politik, maupun perilaku konsumen. Produk ini juga mampu secara konsisten mempertahankan momentum pertumbuhan melawan serangan dari pesaing-pesaing baru. 

Dari segi penjualan, generasi pertama Dji Sam Soe mengalami masa kejayaannya di tahun 1940-an dengan penjualan hampir 3 juta per minggu, di tangan generasi kedua penjualan meningkat menjadi 21 juta batang per minggu (tahun 1980), dan pada generasi ketiga melonjak tajam menjadi 290 juta batang per minggu (tahun 2000).

Dalam suatu kesempatan, Putera Sampoerna pernah mengatakan jika kunci sukses Sampoerna adalah selalu menjaga cita rasa. Menurut dia, baik sigaret kretek tangan maupun sigaret kretek mesin hasil produksi PT Sampoerna seluruhnya dikerjakan dengan dasar tradisi kesempurnaan dan keunggulan mutu. 

Karena kualitas racikan ini, cita rasa dan aroma Dji Sam Soe pun menjadi legendaris dan juga menjadi pionir rokok kretek berkualitas tinggi di Indonesia. Bahkan, kata Puteras, Dji Sam Soe memberi kontribusi terbesar pada laba perusahaan. Tak ayal, Dji Sam Soe pun sering mendapat julukan sebagai “King of Kretek” dan “Mother of All Kretek”.

Filosofi bisnis keluarga ini juga nyatanya dipengaruhi oleh Numerologi China, di mana angka 2, 3, dan 4 pada bungkus rokok tersebut melambangkan kesempurnaan. Jika, total angka-angka tersebut jika dijumlahkan akan menghasilkan 9. 

Oleh karena itu, ejaan "Sampoerna" terus digunakan. Jumlah huruf dalam "Sampoerna" adalah 9, dan jika diganti dengan "Sampurna" maka hanya akan ada 8 huruf.

Nah Growthmates, itulah sedikit perjuangan hidup dan kisah sukses membangun bisnis rokok dari sang pendiri Sampoerna, Liem Seeng  Tee, dan keturunannya. Semoga menginspirasimu, ya!

Baca Juga: Mengulik Kisah Ariano Rachmat Jadi Presiden Direktur Adaro Minerals