Di balik gemerlap kesuksesan sebagai pendiri Ciputra Group, Ir. Ciputra menyimpan kisah batin yang lekat dengan dunia seni yang bersemi sejak masa kecilnya. Dan, seiring kemapanan finansial, ia mulai mengoleksi lukisan demi lukisan dari para pelukis yang ia kagumi, menikmati setiap goresan dan warna yang kini menghidupkan sudut-sudut rumahnya.
Bagi Ciputra, mengoleksi seni bukan hanya perkara memiliki. Ia membangun persahabatan dengan para seniman, belajar langsung dari mereka tentang arti sejati passion. Bahkan, ia turut melahirkan Pasar Seni Ancol, ruang kreatif yang menjadi wadah berkarya sekaligus tempat seniman menjual hasil ciptaannya.
Dari sekian banyak maestro seni Indonesia yang ia kenal, satu nama menorehkan kesan terdalam: Hendra Gunawan. Menurut Ciputra, karya sang maestro memiliki goresan kuas dan palet warna yang berani, ekspresif, hidup, dan penuh cerita. Sejak itu, ia bertekad untuk memiliki dan menjaga karya-karya Hendra sebagai bagian dari jiwanya.
Dalam buku biografinya yang bertajuk Ciputra: The Entrepreneur, The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, Ciputra pun menceritakan tentang kekaguman dan hubungannya dengan Hendra Gunawan. Meski menurutnya ia tidak terlalu akrab dalam kehidupan pribadi sang maestro, namun kata Ciputra, ia terikat erat dalam bahasa yang sama, yaitu bahasa seni.
“Hendra Gunawan menjadi sahabat saya, walau kami tidak terlampau sering bertemu. Kami tidak tahu banyak tentang kehidupan masing-masing. Seni yang mempertemukan kami, dan kami hanya berbicara tentang makna goresan kuasnya,” kenang Ciputra, sebagaimana dikutip Olenka, Kamis (14/8/2025).
Namun suatu waktu, kata Ciputra, tiba-tiba kabar mengejutkan datang dari sahabatnya itu. Hendra Gunawan tiba-tiba ditangkap dan dipenjara karena urusan politik yang tak sepenuhnya dipahami Ciputra. Beberapa waktu kemudian ia dibebaskan, kembali aktif melukis, dan pindah menetap di Bali.
Tahun 1983, tak lama setelah Ciputra pindah ke rumah barunya di Pondok Indah, sebuah dorongan tak terjelaskan pun membuatnya ingin ke Bali.
“Entahlah, saat itu yang ada dalam pikiran saya hanyalah saya ingin bertemu dengannya! Padahal biasanya saya tidak pernah mendatangi orang tanpa perjanjian,” papar Ciputra.
Sesampainya di rumah Hendra Gunawan di Bali, Ciputra pun dibuat shock dengan kondisi sang maestro. Di bale-bale sederhana, ia melihat Hendra Gunawan terbaring lemas, bahkan setengah tak sadarkan diri.
Ciputra pun kemudian bertanya keypad intro Hendra Gunawan, Nuraini, terkait di mana Hendra menyimpan lukisan-lukisannya. Dan saat itu, jawaban Nuraini membuatnya tertegun.
Menurut Nuraini, 30 karya Hendra dijadikan jaminan di Bank BNI 46 untuk pinjaman sebesar Rp15 juta yang digunakan untuk membangun rumah.
“Lalu, saya bilang pada Nuraini bahwa saya akan meminjamkan Rp15 juta agar mereka bisa menebus kembali 30 lukisan itu. Kelak, lukisan itu bisa mereka jual untuk biaya hidup dan mengembalikan uang saya,” cerita Ciputra.
Dikatakan Ciputra, saat itu Nuraini pun dengan mata berkaca-kaca, langsung membisikkan kabar itu ke telinga suaminya. Namun, kata Ciputra, saat itu Hendra pun sudah tak sadarkan diri.
“Saya benar-benar tersayat melihatnya. Baru kali itu saya ingin menangis di hadapan orang lain. Karena kesedihan yang hebat,” ucap Ciputra lirih.
Kemudian, di atas pesawat menuju Jakarta, Ciputra mengaku, ia tak berhenti merenung. Ada rasa aneh yang menyelimuti, seolah Tuhan telah memberinya firasat untuk segera mengunjungiHendra Gunawan, yang tengah sakit parah.
“Betapa hebatnya firasat yang diberikan Tuhan pada saya. Saya sampai tak habis pikir, mengapa saya begitu terdorong untuk mengunjunginya. Karena kunjungan itu, saya jadi tahu problem mereka,” kenang Ciputra.
Setibanya di Jakarta, ia pun segera mengirim uang Rp15 juta, sesuai janji, agar keluarga Hendra bisa menebus kembali lukisan-lukisan sang maestro yang sempat berpindah tangan. Namun tak lama berselang, kabar duka datang. Ya, Hendra Gunawan wafat, selang tiga hari setelah pertemuan mereka.
Saat itu, Ciputra tak kuasa menahan air mata. Kepergian sahabatnya itu membangkitkan kenangan akan janji lama yang pernah ia tulis dalam sebuah surat, jauh sebelum Hendra dipenjara.
“Hendra, suatu saat bila memiliki dana yang cukup, saya ingin membuat museum untuk memamerkan karya-karya hebatmu,” ujar Ciputra kala itu kapad Hendra Gunawan.
Menurutnya, saat itu, Hendra Gunawan pun menjawab dengan rasa haru. Janji itu pun menjadi api semangat Ciputra untuk terus menjaga warisan sang pelukis.
Dari Pasar Seni ke Koleksi Pribadi Terbesar
Setelah Hendra Gunawan wafat, Ciputra pun mengaku masih terus memikirkan keluarga dan karya-karyanya. Ternyata, 30 lukisan Hendra yang sempat diselamatkannya belum terjual.
Ia pun akhirnya memamerkannya di Pasar Seni Jaya Ancol, berharap ada kolektor yang membeli. Namun, hanya dua yang laku, itupun dibeli oleh Brasali dan Sofyan, dua sahabatnya.
Sisanya, 28 lukisan, akhirnya dibeli sendiri oleh Ciputra setelah meminta penilaian kurator. Nilainya sekitar Rp130 juta, seluruhnya ia bayarkan kepada keluarga Hendra Gunawan agar mereka bisa bertahan hidup.
“Akhirnya, sayalah yang harus membelinya. Saya mengundang beberapa kurator ke Pasar Seni dan meminta mereka untuk menaksir harga 28 lukisan Hendra Gunawan. Setelah para kurator itu mengamati dan menaksir nilai lukisan tersebut, ketemulah sebuah harga. Semua berkisar 130 juta rupiah. Saya membeli semuanya, dan saya bayarkan itu kepada keluarga Hendra Gunawan agar mereka bisa menyambung hidup,” ungkap Ciputra.
Dijelaskan Ciputra, ternyata, perjalanannya tidak berhenti di sana. Seiring waktu, kenangan dan rasa kehilangan itu berubah menjadi obsesi.
Ciputra memburu lukisan-lukisan Hendra di berbagai tempat. Dari lebih dari 80 karya, kini ia berhasil mengumpulkan 87 lukisan dan 30 sketsa dan menjadikannya koleksi terbesar dari satu pelukis ternama di Indonesia.
“Orang-orang kemudian mengetahui bahwa Ciputra sangat terobsesi pada lukisan Hendra Gunawan. Sebenarnya, itu karena didorong oleh perasaan sentimental yang sudah terbentuk sejak kami berkenalan, dekat, dan akhirnya ia wafat. Ada janji saya kepadanya,” ujarnya.
Lukisan-lukisan karya Hendra Gunawan yang telah Ciputra buru pun lalu ia simpan di rumah khusus dan sebagian menghiasi dinding rumahnya. Bahkan, dengan izin keluarga Hendra Gunawan, beberapa karya diabadikan dalam bentuk patung atau diperbesar menjadi dekorasi di berbagai properti karya Ciputra Group.
Bagi Ciputra, menjaga karya Hendra bukan sekadar mengoleksi benda seni, melainkan menepati janji, menghormati sahabat, dan memastikan warisan budaya Indonesia tetap hidup.
“Karya Hendra bukan hanya lukisan. Ia adalah potongan jiwa dan sejarah bangsa ini. Saya ingin memastikan, ia tidak akan pernah hilang,” terangnya.
Baca Juga: Pelajaran Kepemimpinan ala Ciputra: Bukan Hanya Membangun Kota, tapi juga Membangun Manusia
Janji Seumur Hidup Ciputra pada Karya Hendra Gunawan
Diakui Ciputra, mengoleksi karya Hendra Gunawan bukan sekadar hobi, tapi itu adalah janji hati.
“Banyak yang mengatakan saya terlalu obsesif dan ingin menguasai karya Hendra Gunawan. Tidak. Semangat saya mengoleksi lukisannya semata-mata karena saya mengenal jiwanya,” tukas Ciputra.
Ciputra mengenang Hendra sebagai pelukis dengan filosofi seni yang luar biasa, yakni seorang seniman yang percaya bahwa karya anak bangsa harus tetap tersimpan di tanah air, bukan diboyong ke luar negeri.
“Hendra berharap orang-orang seperti saya mampu terus mengapresiasi dan melindungi karya seniman besar. Saya memegang harapan itu dalam bentuk komitmen, saya akan mengoleksinya dan tidak akan pernah menjualnya. Tapi saya akan memamerkan karyanya agar masyarakat luas bisa menikmatinya,” tegasnya.
Seiring waktu, janji Ciputra itu pun akhirnya terwujud pada tahun 2015. Ciputra mendirikan Ciputra Artpreneur di lantai 11 superblok Ciputra World, Jalan Prof. Dr. Satrio, Jakarta.
Arena seni ini terdiri dari ruang pameran, Ciputra Museum, Art Show, dan Ciputra Theater, semuanya menjadi rumah bagi karya-karya besar Hendra Gunawan.
Bukan hanya menjadi tempat seni, proyek superblok Ciputra World yang mengangkat tema lukisan Hendra Gunawan ini meraih tiga penghargaan internasional dari Federasi Real Estate Sedunia pada 2016 dan 2017, masing-masing untuk DBS Tower, Ciputra Artpreneur, dan Raffles Hotel.
Kekaguman Ciputra pada Hendra Gunawan begitu besar hingga lukisan sang maestro menghiasi setiap sudut rumahnya, hotel, dan kantor Ciputra Group. Ia bahkan menerjemahkan beberapa lukisan Hendra ke dalam bentuk patung, bekerja sama dengan perupa Munir, sambil turut memolesnya sendiri.
“Kekaguman saya pada Hendra Gunawan sungguh membahana. Sekujur rumah saya dipenuhi lukisan karyanya. Juga hotel dan gedung kantor Ciputra Group,” ujar Ciputra.
Tak berhenti di situ, Ciputra juga mengabadikan kisah hidup dan karya Hendra Gunawan dalam sebuah buku yang ia susun bersama Agus Darmawan. Nilai karya Hendra Gunawan kini melambung tinggi. Namun, bagi Ciputra, tak ada harga yang sepadan untuk melepasnya.
“Pada saat krisis 1998, secara teori saya sudah bangkrut. Semua saya jual, kecuali lukisan-lukisan Hendra Gunawan. Bagi saya, karya seninya priceless. Tidak akan saya jual hanya karena butuh uang. Karya Hendra akan aman di pelukan saya,” ungkapnya.
Ciputra juga menuturkan, menjaga warisan seni Hendra Gunawan bukan sekadar koleksi pribadi, melainkan bentuk penghormatan seumur hidup, janji yang ia tepati hingga akhir hayatnya.
Ciputra pun mengatakan bahwa mengoleksi karya seni bukan hanya soal estetika atau investasi. Itu adalah tanggung jawab moral seorang anak bangsa.
“Saya pikir sikap seperti ini adalah salah satu bentuk tanggung jawab para kolektor tanah air untuk menjaga karya seni anak bangsa yang bernilai tinggi,” ujarnya.
Rasa cinta Ciputra pada seni pun seringkali bercampur dengan kegelisahan, terutama ketika ia mengetahui banyak karya besar pelukis Indonesia justru tersimpan jauh di negeri orang.
Dalam sebuah perbincangan dengan pejabat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ciputra pun pernah menyampaikan keresahan itu, berharap negeri ini mampu mempertahankan kekayaan budayanya sendiri.
“Saya mengusulkan agar negara membuat cagar budaya untuk melindungi karya seni bernilai tinggi sehingga tidak dikuasai kolektor luar negeri, terutama lukisan-lukisan yang memiliki kekuatan sejarah,” ungkapnya.
Ciputra juga menyesalkan lelang sebuah lukisan terbaik Hendra Gunawan di Hongkong, yang akhirnya jatuh ke tangan kolektor Taiwan. Ia pun mengaku bahwa mengetahui banyak karya sang maestro yang kini beredar di luar negeri.
Melihat hal itu, Ciputra pun punya harapan sederhana, yakni pemerintah bisa menyimpan setidaknya beberapa karya pilihan dari setiap pelukis ternama sebagai koleksi nasional. Namun, ia juga mengingatkan akan bahaya lain, yaitu peredaran lukisan palsu.
“Banyak lukisan palsu beredar dan diperjualbelikan. Itu penghinaan bagi keluhuran passion para seniman yang mengabdikan hidupnya dengan tulus pada seni. Tidak seharusnya dirusak oleh mental serakah yang hanya ingin uang,” tegasnya.
Dan, meski dikenal sebagai kolektor terbesar karya Hendra Gunawan, Ciputra juga memiliki hubungan erat dengan pelukis legendaris lain seperti Basoeki Abdullah, Affandi, dan Sudjojono. Bahkan, ada sebuah momen bersejarah yang ia kenang baik.
Ketiga maestro itu pernah melukis bersama di Pasar Seni Taman Impian Jaya Ancol pada satu kanvas yang sama, hanya dalam waktu 15 menit. Uniknya, mereka melukis satu sama lain.
Dikatakan Ciputra, sebenarnya, momen itu lahir dari hubungan yang sempat kurang harmonis di antara mereka. Yakni, perbedaan pandangan soal aliran seni memicu kritik tajam.
“Saat itu, hubungan ketiganya kurang harmonis. Mereka mengkritisi aliran lukisan. Karena tajamnya perang kritik itu, saya kemudian mengundang ketiganya untuk melukis bersama,” kenang Ciputra.
Hasilnya luar biasa, sebuah lukisan yang kini terpajang di ruang tamunya.
“Unik sekali, sekaligus mengharukan. Pada diri seniman, saya mendapatkan getaran kejujuran rasa. Begitu murni dan militan. Jiwa seperti itu menyeimbangkan diri saya, terlebih di dunia bisnis yang saya tekuni,” ungkap Ciputra.
Baca Juga: Warisan Besar Ciputra untuk Generasi Muda Indonesia: Integritas, Profesionalisme, Entrepreneurship
Bisnis yang Berdenyut Seni
Ciputra menuturkan, bisnis dan seni bukanlah dua dunia yang terpisah. Keduanya justru berpadu, membentuk karakter dan keputusan-keputusan penting yang ia ambil sepanjang hidupnya.
“Kadang, rasa seni yang murni hilang ditelan oleh perhitungan bisnis. Di hampir semua proyek berlabel Ciputra, bisa saya pastikan ada getaran seni yang saya alirkan di antara perhitungan-perhitungan bisnis. Seni juga membantu saya menajamkan intuisi,” ujarnya.
Ciputra pun mengakui, dirinya tak akan pernah menjadi pebisnis murni.
“Di dalam diri saya mengalir jiwa seni yang bebas,” katanya. Mungkin karena itu pula, banyak orang yang mengenalnya sebagai sosok yang unik, tegas, bahkan kadang galak, namun tetap berperasaan,” paparnya.
Hingga akhir hayat, Ciputra tak pernah lepas dari dunia seni. Ia terus menciptakan patung, menata taman, dan mengatur rumahnya layaknya sebuah galeri hidup.
Setiap hari ia memeriksa sudut-sudut rumah, memindahkan pot tanaman yang membosankan, atau menata bunga-bunga jatuh agar membentuk pemandangan yang indah.
Ia juga rutin memeriksa koleksi lukisannya, terutama karya sang maestro Hendra Gunawan.
“Rencana-rencana saya terhadap koleksi lukisan Hendra Gunawan senantiasa menjadi agenda penting,” ujarnya.
Diungkapkan Ciputra, seni lukis adalah nafas yang menyatu dengan setiap profesi dan karya yang ia jalani. Kecintaannya pada karya Hendra Gunawan bukan sekadar urusan memiliki, apalagi menguasai. Tapi, dda janji yang pernah ia ucapkan, yakni janji untuk melindungi, menyelamatkan, dan memastikan karya sang maestro tetap hidup di negeri sendiri.
Bagi dia, setiap lukisan Hendra adalah warisan luhur yang harus disimpan dan dibagikan pada publik, namun tak pernah, sekalipun, dijual demi keuntungan.
“Apa yang saya lakukan pada Hendra Gunawan tidak bisa dikatakan dengan sederhana sebagai penguasa lukisan Hendra. Tidak. Saya memang telah berjanji untuk memperjuangkan penyelamatan lukisan-lukisannya. Saya akan menyimpan serta memamerkannya dengan penuh cinta murni sebagai karya seni luhur. Saya tidak akan pernah menjualnya,” tegas Ciputra.
Baca Juga: Kisah Tarumanagara City dan Filosofi Ciputra dalam Membangun Yayasan