Bagi Ir. Ciputra, Founder Ciputra Group, kepercayaan diri bukan sesuatu yang datang secara instan. Namun, ia tumbuh dari perjuangan, kegigihan, dan pencapaian pribadi, terutama di bidang olahraga dan pendidikan. Dua pilar inilah yang tak hanya menyelamatkan hidupnya, tetapi juga membentuk siapa dirinya hari ini.
Dalam buku biografinya Ciputra: The Entrepreneur, The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, Ciputra pun menceritakan salah satu kisah masa mudanya di Gorontalo yang menggambarkan dengan jelas bagaimana prestasi mampu mengangkat derajat seseorang, bahkan menembus batas-batas identitas etnis.
“Ketika orang-orang Gorontalo memanggil saya seperti ini, ‘Hei, Nyong Cina jago lari!’ saya tak merasa terhina. Orang-orang itu menatap saya dengan kagum. Tak ada penghinaan pada kata Cina,” terangnya, sebagaimana dikutip Olenka, Rabu (6/8/2025).
“Karena buat mereka, adalah menakjubkan ada pemuda Tionghoa bisa menjadi juara di lintasan lari yang biasanya dimenangkan penduduk asli. Saya justru bangga. Dan saya belajar satu hal penting: ternyata prestasi sanggup mengangkat derajat seseorang. Prestasi sanggup membentuk kepercayaan diri. Itu luar biasa,” lanjut Ciputra.
Bagi Ciputra muda, olahraga bukan sekadar kompetisi fisik, melainkan arena pembentukan karakter. Di lintasan lari, ia tak hanya beradu kecepatan, tetapi juga menaklukkan keraguan diri. Ketika tubuhnya menerjang pita garis finis dan sorak-sorai menggema di lapangan, ia merasa sedang mempersembahkan cahaya kebanggaan bagi lingkungan dan sekolahnya.
“Olahraga menciptakan sensasi kegembiraan yang tak terkatakan. Dan, olahraga juga mempersatukan. Sebuah semangat murni yang datang dari dukungan penuh cinta akan mudah mempersatukan dalam energi positif,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ciputra pun mengenang pengalamannya berlaga di Pekan Olahraga Nasional tahun 1952, yang menurutnya memberikan rasa bangga luar biasa bagi daerah asal.
Dirinya meyakini, ajang-ajang olahraga seperti SEA Games, Asian Games, hingga Olimpiade bukan hanya tentang medali, tapi juga tentang cara membangun nasionalisme melalui semangat sportivitas.
Namun bagi Ciputra, peran pendidikan tak kalah pentingnya. Ia menyebut pendidikan sebagai jembatan perubahan alias jalan yang menghubungkan anak-anak dari pelosok dengan masa depan yang lebih cerah.
“Selain olahraga, sudah pasti pendidikan juga sangat lekat dengan hidup saya. Tanpa sekolah, mustahil saya bisa mencapai apa yang saya raih hingga hari ini. Pendidikan adalah jembatan yang membuat seorang anak dusun mampu menyeberang ke dunia yang lebih bercahaya,” ungkap Ciputra.
“Pendidikan adalah tangga yang membuat kehidupan seseorang beranjak naik. Pendidikan adalah lentera yang membuat seseorang tak terkurung dalam gelap. Saya adalah bukti nyata,” tegasnya.
Kesadaran itulah yang akhirnya mendorong Ciputrauntuk berkontribusi lebih jauh di bidang pendidikan dan olahraga. Di lingkungan kerja PT Pembangunan Jaya, ia memimpin dengan semangat seorang pendidik.
Ciputra membentuk dan membimbing para karyawan seperti seorang guru kepada muridnya, bukan sekadar untuk menyelesaikan tugas, tapi untuk mendorong mereka menjadi versi terbaik dari diri sendiri.
“Ketika memarahi mereka, saya bukan sedang menindas mereka, tapi membangun mereka. Ada semacam dorongan kuat dalam diri saya untuk selalu bisa melecut orang agar berhasil,” tuturnya.
Baca Juga: Keteguhan Iman dan Prinsip Hidup 5D ala Ciputra dalam Menghadapi Sakit dan Ujian
Lahirnya PB Jaya Raya
Kecintaan Ciputra terhadap olahraga bukan hanya cerita masa muda di lintasan lari. Komitmennya terus terpatri bahkan ketika ia sudah menjabat posisi strategis di dunia usaha dan pembangunan.
Dan, salah satu warisan besarnya di dunia olahraga Indonesia adalah lahirnya Yayasan Jaya Raya yang kelak membidani munculnya klub bulu tangkis legendaris, PB Jaya Raya.
Semua bermula pada tahun 1969, ketika Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, menyampaikan harapan kepada Ciputra untuk membentuk dan mengelola yayasan yang menaungi klub olahraga di bawah naungan PT Pembangunan Jaya.
“Kau pasti bisa menangani ini. Kau orang yang tepat,” kata Ali Sadikin , seperti dikenang Ciputra.
Sebagai seseorang yang percaya akan kekuatan olahraga dalam membentuk karakter dan menyatukan masyarakat, Ciputra merasa terpanggil.Ciputra mengaku, ia tak melihat permintaan itu sebagai beban, melainkan tantangan yang menggugah hati.
“Kalau diajak bicara soal olahraga, hati saya cepat tersambar. Olahraga itu punya kekuatan ajaib yang menghidupkan. Baik yang berlaga maupun yang menonton, semua dikuasai energi positif. Olahraga bisa mempersatukan. Maka, dengan penuh semangat, harapan Ali Sadikin itu saya godok dengan rekan-rekan di perusahaan,” papar dia.
Tak butuh waktu lama, kemudian lahirlah Yayasan Jaya Raya pada tahun 1970, hasil kolaborasi antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT Pembangunan Jaya. Dibeberkan Ciputra, yayasan ini tak hanya berfokus pada prestasi olahraga, tapi juga merambah pendidikan, sosial, dan kebudayaan.
Di yayasan tersebut, Ciputra terpilih sebagai Ketua Dewan Pengurus, sementara Ali Sadikin menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas. Tapi, Ciputra sadar bahwa keberlanjutan yayasan memerlukan sumber dana yang mandiri. Maka, ia mengajukan permintaan unik kepada Ali Sadikin.
“Ada kompensasi yang saya minta dari Ali Sadikin. Saya ingin Majalah Jaya, yang dikelola oleh pemerintah DKI dengan pimpinan Haryoko, diserahkan kepada Yayasan Jaya Raya dengan harapan bisa menjadi sumber pendapatan,” ungkapnya.
Usulan Ciputra pun disetujui, dan langkah berani pun diambil. Ciputra menggandeng Goenawan Mohamad untuk membentuk Majalah Tempo, dengan skema kepemilikan 50% untuk Yayasan Jaya Raya dan 50% untuk tim redaksi.
Majalah ini tidak hanya sukses besar, tapi juga melahirkan surat kabar Jawa Pos di Surabaya. Saat Majalah Tempo dibredel, Jawa Pos menjadi penyokong utama kegiatan Yayasan Jaya Raya. Salah satu tokoh penting di balik sukses ini adalah Dahlan Iskan, yang kelak menjadi Menteri BUMN pada 2011–2014.
Tak ingin yayasan ini hanya bergerak secara simbolik, Ciputra mendorong pengurus untuk segera membuat langkah nyata. Fokus utama jatuh pada dua cabang: sepak bola dan atletik, dua bidang yang saat itu membuat Ali Sadikin prihatin karena prestasi Jakarta yang kurang menonjol.
“Saya tidak mau yayasan ini bergerak sekadar nama dengan eksistensi yang sekadarnya. Saya ingin total,” tegas Ciputra.
Dari situ, Ciputra kemudian meluangkan waktu untuk menggenjot pengurus agar segera menciptakan sesuatu yang konkret. Saat itu, Soekrisman dan Hiskak Secakusuma ikut berperan aktif.
Dari sana, lahirlah Klub Sepak Bola Jayakarta dan kemudian Persatuan Atletik Jayakarta, yang masing-masing melahirkan sejumlah atlet berbakat. Namun, Ciputra merasa bahwa belum ada ‘chemistry’ kuat dalam dua bidang tersebut.
Dibeberkan Ciputra, titik balik datang pada tahun 1975. Dengan insting yang kuat dan pemahaman mendalam tentang potensi olahraga Indonesia, Ciputra pun kemudian mengajukan usulan baru kepada Gubernur Ali Sadikin.
“Saya ingin memayungi cabang bulu tangkis,” katanya.
Menurutnya, langkah ini terbukti monumental. Dari keputusan itulah, PB Jaya Raya kemudian berdiri dan menjadi salah satu klub bulu tangkis paling berpengaruh di Indonesia. Klub ini pun kemudian melahirkan nama-nama besar yang mengharumkan Indonesia di kancah dunia.
Baca Juga: Kisah Perjalanan Jiwa Ciputra: Ditempa Derita, Disentuh Tangan Tuhan
Mimpi Ciputra Mencetak Juara Dunia dari Nol
Ketika Indonesia memenangkan Piala Thomas tahun 1958 di Singapura dengan mengalahkan Malaysia, hati Ciputra saat itu seakan tersambar oleh semangat yang luar biasa.
Nama-nama besar seperti Tan Joe Hok, Njoo Kiem Bie, Ferry Sonneville, Tan King Gwan, dan Olich Solihin bukan hanya menjadi pahlawan olahraga nasional, tetapi juga inspirasi bagi generasi muda, termasuk Ciputra muda.
“Saya memang sudah terinspirasi sejak lama oleh cahaya dahsyat yang disemburkan para atlet bulu tangkis Indonesia di tahun 1958,” ungkap Ir. Ciputra.
“Keberhasilan tim Indonesia merebut Piala Thomas di Singapura sangat gemilang dan mengagumkan,” sambungnya.
Tak berhenti di sana, ia juga mengagumi kiprah ganda putri Minarni dan Retno Kustiyah yang meraih juara All England tahun 1968, hingga Rudy Hartono, pemuda ajaib yang menjuarai All England tujuh kali berturut-turut dan menjadi legenda dunia bulu tangkis.
“Setiap kali menonton pertandingan bulu tangkis yang diikuti putra-putri bangsa dan akhirnya kemenangan berhasil diraih, bukan hanya mata saya yang dipuaskan, tapi gelora perasaan di dalam dada ini luar biasa,” kenangnya.
“Betapa dahsyatnya kegembiraan dan kebanggaan yang datang dari prestasi olahraga. Spirit yang indah,” lanjut Ciputra bangga.
Ciputra percaya, bulu tangkis bukan hanya olahraga, tapi juga kekuatan pemersatu. Saat Indonesia berlaga, jalanan sepi karena seluruh rakyat terpaku di depan televisi. Ketika menang, sorak-sorai membahana, dan semangat nasionalisme pun berkobar.
Maka, ketika ia mendirikan Yayasan Jaya Raya bersama Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin pada awal 1970-an, Ciputra pun melihat bulu tangkis sebagai bidang yang sangat potensial untuk dikembangkan secara serius.
“Saya mengatakan pada Ali Sadikin, ‘Saya yakin bisa mengembangkan klub yang akan mencetak juara dunia. Bulu tangkis sangat potensial. Olahraga ini sesuai dengan anatomi tubuh orang Indonesia, dan kita memiliki para calon pelatih dahsyat,’” terangnya.
Diceritakan Ciputra, Ali Sadikin pun menyetujui gagasannya itu, dan pada tahun 1975, Ciputra pun mulai merintis klub bulu tangkis. Ia menggandeng Rudy Hartono, sosok yang tidak hanya menginspirasi, tapi juga memiliki aura juara sejati. Rudy pun menyambutnya dengan semangat.
“Saya menyalami Rudy Hartono, mengucapkan terima kasih. Kehadiran Rudy tak hanya akan memberikan pelajaran teknik bermain kelas dunia, tapi juga mengalirkan semangat juara,” paparnya.
Dan, pada Oktober 1976, Perkumpulan Bulutangkis Jaya Raya resmi berdiri. Dikatakan Ciputra, saat itu Rudy Hartono menjadi ketua sekaligus kepala bidang teknik, didampingi Retno Kustiyah sebagai sekretaris merangkap bendahara.
Pelatih-pelatih hebat seperti Atik Jauhari dan Ridwan turut bergabung. Kantor sekretariat sementara bahkan menumpang di rumah Rudy Hartono di Radio Dalam.
Namun, perjalanan awal PB Jaya Raya jauh dari gemerlap. Tak ada fasilitas mewah, tak ada dana besar. Ciputra justru meyakini bahwa keterbatasan akan menciptakan rasa memiliki yang lebih kuat.
“Apakah perjalanan awal kami diwarnai kemegahan dan fasilitas serba lengkap beserta dana yang menggiurkan? Tidak sama sekali. Selain kami memang masih belum memiliki dana yang pasti, saya juga berpikir bahwa berjuang dari nol bersama-sama akan menciptakan sense of belonging yang lebih baik. Maka bergeraklah kami dalam kesederhanaan. Kenyataannya, dana taktis memang belum ada,” beber Ciputra.
Dibeberkan Ciputra, awalnya, mereka menyewa lapangan di Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, untuk latihan. Kemudian barulah mendapatkan tempat di kawasan Ragunan, tempat mereka membangun asrama dan gelanggang olahraga sendiri.
Semangat gotong royong pun dijelaskan Ciputra sangat terasa. Retno Kustiyah dan para pengurus mengecat sendiri garis lapangan, merancang program pelatihan, bahkan mengemudi sendiri mobil untuk mengantar atlet ke tempat latihan lain di luar Ragunan, seperti di Gelanggang Olahraga Pondok Indah.
“Para pejuang awal Jaya Raya bergerak dalam dana yang minim, namun dilimpahi oleh semangat murni yang mengagumkan,” pungkas Ciputra.
Baca Juga: Kisah Keteguhan Ciputra dalam Menghadapi Pusaran Krisis