Di balik kejayaan megaproyek dan pencakar langit yang membentuk wajah kota-kota Indonesia, nyatanya ada kisah pilu dan perjuangan tanpa pamrih dari seorang tokoh besarpendiri Ciputra Group, yakni Ir. Ciputra.

Sosok yang identik dengan visi besar dalam dunia properti dan pendidikan ini, ternyata pernah berada di titik paling gelap dalam hidupnya.

Dalam buku biografinya yang bertajuk Ciputra: The Entrepreneur, The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, Ciputra menceritakan bahwa pada saat krisis moneter melanda Indonesia di akhir 1990-an, badai besar pun menghantam perusahaan miliknya, Ciputra Group.

Ia bilang, saat itu proyek-proyek prestisius terhenti. Utang menumpuk. Kepercayaan publik menghilang. Dan,Ciputra Yang selama ini menjadi simbol keteguhan dan kesuksesan, harus menelan kenyataan pahit, yakni kejayaan puluhan tahun harus sirna dalam sekejap.

“Tidak mudah dan butuh waktu lama untuk bisa memulihkan keadaan. Sepanjang itulah kesibukan para direksi dan manajer bukan lagi menangani proyek, melainkan menyelesaikan persoalan utang dan menghadapi kemarahan berbagai pihak,” beber Ciputra, sebagaimana dikutip Olenka, Minggu (3/8/2025).

“Sungguh tidak saya duga kami akan menghadapi situasi seperti itu. Puluhan tahun yang telah berjalan dengan catatan kejayaan dan prestasi gemilang seperti menjadi Sejarah yang tertindih. Sedih sekali hati saya,” kenangnya pilu.

Dikatakan Ciputra, setiap hari bukan lagi diisi dengan perencanaan proyek atau ekspansi bisnis, melainkan menghadapi tekanan dari para kreditur, kemarahan mitra, dan kekecewaan masyarakat.

Proyek-proyek seperti Citra Raya yang semula menjadi ikon pembangunan, berubah menjadi lahan sepi dengan beton-beton kosong. Tak ada kehidupan. Tak ada harapan.

“Hancur batin saya melihat proyek Citra Raya yang terhenti dan menyisakan banyak area dengan calon bangunan yang masih berupa beton-beton. Seperti zaman perang saja. Bisu dan suram. Menetes air mata saya selama menyusuri jalan-jalan lengang di area proyek yang tak lagi memancarkan kehidupan,” ungkapnya.

Dan, yang lebih menyakitkan lagi, krisis juga menerpa sekolah-sekolah yang didirikannya. Guru-guru asing mundur, dan para orang tua mulai kehilangan kepercayaan. Saat itu, Ciputra merasa hatinya diremukkan berkeping-keping.

“Ya Tuhan, persoalan-persoalan berat itu sungguh meremukkan jiwa saya. Jangan ditanya bagaimana mental anak-anak saya. Kami terpuruk! Anak-anak saya mengurung diri di rumah dan hanya keluar untuk urusan perjuangan perusahaan. Selebihnya, mereka nyaris tak mau bertemu siapa pun. Kami remuk redam,” tutur Ciputra.

Namun, di tengah keputusasaan, Ciputra tidak menyerah. Ia tahu, sebagai pemimpin, ia tak boleh goyah. Di balik pintu rumah, ketika dunia luar terasa bagaikan medan perang, ia memilih untuk menguatkan keluarga, yakni anak-anaknya yang terpukul, tertutup, dan hampir kehilangan harapan.

“Pada saat itu, saya menengadah ke langit dan dengan berkaca-kaca saya berucap dalam hati. Tuhan, ampuni saya. Saya lemah. Saya tak kuasa menghadapi ini sendirian. Temani saya. Bantu saya,” ujar Ciputra.

“Saya kumpulkan anak-anak. Saya rangkul mereka. Setiap malam, kami berkumpul di kamar saya dan berdoa. Meminta kekuatan. Memohon ampun. Berharap diberi jalan keluar,” lanjut Ciputra.

Dan di malam-malam penuh air mata itu, suara batin pun muncul dalam keheningan Ciputra.

“Ciputra, kau jangan angkuh. Lihatlah, inilah kekuatan manusia yang sebenarnya. Tidak ada daya ketika Tuhan menginginkan sesuatu terjadi. Manusia sangatlah lemah jika Tuhan menunjukkan kuasa-Nya,” tuturnya.

Baca Juga: Krisis 1998 dan Titik Terendah dalam Kehidupan Ciputra

Iman, Doa, dan Kebaikan Orang Asing

Di balik nama besar Ciputra Group dan warisan puluhan proyek prestisius yang mengubah wajah kota-kota besar di Indonesia, tersimpan kisah jatuh-bangun yang begitu manusiawi, seperti kisah tentang kelelahan, keputusasaan, dan kebangkitan.

Saat itu, Ciputra merasa kehidupannya runtuh. Proyek-proyek macet. Aset menyusut. Kepercayaan publik terkikis. Namun, yang lebih menyakitkan bukan sekadar angka-angka dan neraca keuangan, melainkan tekanan batin yang nyaris tak tertanggungkan.

"Pada hari-hari ketika fisik dan batin kami begitu kepayahan itu, kesadaran yang sangat dalam menyentuh dinding kalbu saya. Kesehatan tubuh saya merosot. Bahkan saya sempat sulit berjalan. Tapi, saya menemukan sesuatu yang mencerahkan. Iman. Hati saya seperti disikat bersih, dibeningkan, dan dikilaukan. Saya bisa merasakan tangan-Nya di saat saya tak mampu berbuat apa-apa,” ungkapnya.

Dari titik nadir itulah, lahir kekuatan baru. Dalam tubuh yang lelah dan batin yang koyak, Ciputra menemukan semangat yang selama ini terpendam. Ia sadar, meskipun kekayaan materialnya tergerus habis, nilai dirinya sebagai manusia tidak pernah hilang.

“Ciputra! Kekayaanmu mungkin minus. Di bawah nol. Utangmu banyak. Tapi ingat. Dirimu adalah sesuatu yang bernilai. Seorang Ciputra dengan semangatnya tidak akan pernah menjadi minus. Kau bisa bangkit. Bisa!”

Dibeberkannya, titik balik itu tidak datang dari solusi instan, tetapi dari kepedulian yang tulus. Menurutnya, banyak orang datang mendoakan dirinya. Bahkan, seorang biarawati dan asistennya yang tidak dikenalnya datang ke kantornya, memberikan doa dan sebuah buku berjudul “Manajemen ala Yesus.”

“Saya harus tetap kuat. Buku yang ia berikan saya baca dan memberi saya kekuatan. Ajaib. Buku itu seperti mengalirkan kekuatan yang dahsyat. Setiap hari, saya membaca buku itu dan nyali saya tumbuh sedikit demi sedikit. Harapan hidup lagi. Ketegaran terbentuk lagi. Dan yang terpenting, diri saya dialiri perasaan damai dan tenteram. Padahal saat itu, persoalan masih mencekik!,” paparnya.

Selepas itu, kata Ciputra, ada satu peristiwa lain yang sangat membekas di hidupnya, yakni saat Ciputra kedatangan seorang pria asing ke kantornya. Pria tersebut memperkenalkan diri sebagai Tonny Rachmat. Tanpa banyak bicara, ia menyerahkan sebuah amplop yang berisi uang sepuluh juta rupiah, jumlah yang sangat berarti di tengah keterpurukan Ciputra.

“Pak Ciputra, saya mendengar tentang nasib perusahaan Bapak yang terpuruk. Saya adalah pengagum Bapak. Ini, saya hanya bisa membantu sebesar ini. Terimalah. Barangkali Bapak membutuhkannya,” ucap pria itu, yang kemudian diketahui adalah seorang pendeta.

Ciputra mengenang momen itu dengan mata berkaca-kaca. Di tengah badai yang belum mereda, uluran tangan dan ketulusan hati dari orang-orang tak dikenal menjadi lentera kecil yang menerangi jalannya. Dan dari situ, harapan mulai bertunas kembali.

“Saat itu saya terpaku. Laki-laki itu lalu berpamitan. Saya menatap uang lembaran di dalam amplop. Mata saya berkaca-kaca. Uang sebanyak itu besar artinya buat saya karena utang saya sudah menghancurkan kondisi finansial kami. Saya tidak akan melupakannya,” ungkapnya.

Baca Juga: Pergulatan Ciputra Melawan Krismon

Pondasi Ketahanan Ciputra dalam Krisis

Diakui Ciputra, krisis moneter 1998 menjadi ujian paling berat dalam hidupnya. Kejatuhan ekonomi bukan hanya mengguncang bisnis, tetapi juga menggoyahkan kesehatan fisik dan mental seluruh keluarga.

Namun, dari reruntuhan itu, justru lahir kekuatan baru. Yakni, kekuatan yang datang dari iman, keluarga, dan tangan-tangan tak terlihat yang diutus untuk membantu.

“Kejadian-kejadian itu membuat hati saya berpengharapan kembali. Jiwa saya dihangatkan. Pikiran saya dijernihkan. Yah, Tuhan tidak akan memberikan cobaan pada umat-Nya melebihi batas kemampuannya. Saya yakin akan ada cahaya setelah badai. Kami harus kuat melewati semua ini,” ungkapnya.

Setiap malam Ciputra dan keluarganya pun berdoa. Setiap siang hari ia pun rapat. Hari-harinya pun diisi dengan strategi untuk menyelesaikan tumpukan utang yang nyaris melumpuhkan. Tidak ada ruang untuk lari, apalagi menyalahkan. Mereka memilih bertahan dengan kepala tegak.

“Kami sabar menyusuri perjalanan panjang menghadapi beban pembayaran utang dengan segala strategi. Yang penting, semua dilakukan dengan niat dan cara yang baik. Pantang bagi kami menghindar apalagi lari,” bebernya.

Diakui Ciputra, dalam kondisi yang lemah secara ekonomi, dirinya justru merasa imannya tumbuh. Ia melihat anak-anak, menantu, dan para direksi berdiri bersama, saling memeluk dalam ikatan perjuangan. Mereka rapuh, tapi mereka tidak runtuh.

“Pada dasarnya kami telah menjadi lemah saat itu. Tapi karena kami tidak mengendurkan pelukan satu dengan lainnya, kami tetap kuat,” tukasnya,

Dan, lanjut Ciputra, doa-doa itu, perlahan, mulai membuahkan hasil. Seketika ada seseorang datang dari Bank BRI, melalui tangan sahabat lamanya, yakni Djokosantoso Moeljono yang saat itu menjabat Direktur Utama BRI.

Djokosantoso memperjuangkan pinjaman bagi Ciputra Group di tengah suasana yang serba sulit. Sebuah keputusan yang tak hanya berani, tapi juga penuh kepercayaan.

“Saya tahu, Djokosantoso berjuang keras di internal BRI. Ia rela dan mau melakukan itu karena ia sangat yakin bahwa saya masih bisa bangkit lagi, dan saya memiliki reputasi positif di dalam industri yang saya geluti. Bantuan BRI sangat membantu kami. Memberi oksigen di saat kami sudah sesak dan kepayahan,” tutur Ciputra.

Bahkan ketika Ciputra mencoba memberinya hadiah sebagai ungkapan terima kasih, Djokosantoso menolaknya. Bantuan itu datang murni dari keyakinan dan persahabatan.

“Ia bukan saja seorang kolega. Ia sahabat sejati. Sungguh, ia tidak mau menerima apa pun. Benar-benar tanpa pamrih. . Sampai sekarang hubungan kami dengan Bank BRI terus berlanjut dengan baik dan semua kewajiban kami dapat dipenuhi,” kenang Ciputra.

Selain itu, lanjut Ciputra, usaha para direksi yang dipimpin menantunya, Harun, juga membuahkan hasil. Negosiasi dengan bank membawa keringanan, beberapa utang diselesaikan dengan kavling tanah, dan perlahan, kepercayaan mulai tumbuh kembali.

Menurut Ciputra, meski mereka kehilangan beberapa proyek, tapi reputasi Metropolitan Grouptidak hilang. Mereka bahkan harus pindah kantor karena tak sanggup membayar sewa. Namun satu hal yang tidak pernah mereka hilangkan adalah reputasi dan kepercayaan.

“Bagi kami, lebih baik kehilangan proyek daripada kehilangan kepercayaan dari bank, nasabah, masyarakat, serta karyawan,” tegas Ciputra.

Dan, perjalanan itu pun menyadarkan Ciputra bahwa kebanggaan sejati bukan berasal dari harta atau kejayaan duniawi, melainkan dari kemampuan untuk menghargai waktu, menjaga integritas, dan tetap setia pada Tuhan, bahkan dalam badai paling dahsyat sekalipun.

“Kebanggaan saya lebih karena saya telah menghargai karunia yang Tuhan berikan. Saya telah menggunakan waktu sebaik-baiknya, kesempatan, dan juga kesehatan untuk menciptakan prestasi. Namun, di atas segalanya, Tuhanlah yang menentukan semua yang terjadi,” tandas Ciputra.

 Baca Juga: Kisah Spiritual dan Jejak Iman yang Tersembunyi dalam Hidup Ciputra