Tonggak Kehidupan Baru Tahir
Tahir sendiri lalu mengikuti ujian masuk universitas pada tahun 1970. Ujian itu disebutnya sangat sulit. Sampai-sampai badannya pun basah kuyup oleh keringat selama ujian.
“Saya harus mengerahkan seluruh keberanian untuk menyelesaikan ujian. Saat itu, saya berada di antara anak-anak muda dari Singapura, Malaysia, dan beberapa negara lainnya seperti Vietnam dan Filipina. Saya merasa gak akan lulus, saya sepertinya tidak ditakdirkan seperti itu. Saya pasti akan gagal,” gumam Tahir kala itu.
Namun ternyata pikiran Tahir tersebut salah. Kebalikannya, dia lulus. Bahkan dengan hasil yang sangat memuaskan. Saat itu, kata Tahir, kedua orang tuanya sangat bangga dan bahagia atas kelulusannya.
“Keberhasilan saya masuk Nanyang Technological University (NTU) Singapura merupakan kebahagiaan tersendiri. Jadi terobosan juga di tengah membaiknya perekonomian keluarga sata. Bagi saya, itu kesempurnaan hidup,” tukas Tahir.
Selang pengumuman bahagia tersebut, keluarga Tahir pun mengadakan perayaan kecil di rumah. Sang ibu, selain memasak masakan special, juga membeli mie goreng dan beberapa hidangan dari restoran.
Tawa dan sorot mata kedua orangnya, kata Tahir, menggambarkan kebahagiaan yang tak telukiskan. Mereka telah menempuh perjalanan yang sangat panjang dari masa-masa yang penuh ejekan. Namun di malam itu, kata Tahir, ia melihat kedua orang tuanya tertawa lepas tanpa beban dan terlihat santai.
“Kami berkumpul di sekitar meja makan. Malam itu kami merayakan tonggak sejarah baru: Tahir belajar di luar negeri. Untuk pertama kalinya saya melihat papah dan mamah sebagai orang tua sempurna yang impiannya adalah melihat anak-anaknya bahagia,” papar Tahir.
Di perayaan kecil malam itu, Tahir pun merasa semua penderitaan di masa lalunya hilang. Kedua orang tuanya bagaikan malaikat sejati, yang terus menerus memastikan keselamatan dan kebahagiaan anaknya.
Baca Juga: Daftar Portofolio Bisnis Sektor Keuangan Milik Dato Sri Tahir
Pesan Orang Tua Tahir: Belajarlah dengan Baik!
Waktu yang dinantikan pun tiba. Tahir akhirnya harus siap pergi ke Singapura. Kali ini ia pergi bukan untuk berbelanja kebutuhan usahanya, melainkan untuk belajar dan tinggal di sana cukup lama. Saat itu, kedua orang tuanya pun mengantarkan Tahir ke bandara.
Untuk pertama kalinya dalam hidup Tahir, ia merasa sengsara karena harus berpisah dengan kedua orang tuanya. Saat itu, Tahir dan orang tuanya berpelukan sebelum berpisah. Ia pun merasa seperti di ambang batas antara kedekatan dan kehilangan.
“Saat itu orang tua saya berpesan, saya harus membuat sejarah baru dalam keluarga kita. Mamah bilang, saya pasti akan jauh lebih sukses dari mereka. Mereka menyuruh saya tidak memikirkan hal lain. Karena mereka berjanji akan membiayai semua kebutuhan saya di Singapura. ‘Pergilah dan belajarlah dengan baik’,” tutur Tahir seraya menirukan perkataan sang ibu.
Begitu pun saat di atas pesawat, perasaan Tahir kembali campur aduk. Ia merasa seperti diguncang oleh ledakan keras yang meneriakkan peringatan bahwa perubahan besar akan terjadi padanya.
“Apakah ini akan mengubah saya? Saya tidak punya petunjuk saat itu,” ujar Tahir.
Setelah resmi menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Nanyang, Tahir tinggal di kamar sewaan sekitar kampus, di distrik Jurong. Jaraknya sendiri cukup jauh dari pusat kota. Tahir tak terlalu lama tinggal di sana, karena mahasiswa baru biasanya akan diberi kamar di asrama kampus.
Dikatakan Tahir, dirinya menghabiskan beberapa hari pertama di Singapura dengan duduk sendirian, termenung. Menurutnya, saat itu adalah transisi yang sulit. Ia mengaku tak memiliki nafsu makan sama sekali, padahal sang ibu telah membawakannya bekal makanan kering dan masakan siap saji.
“Saya sangat merindukan kedua orang tua dan adik perempuan saya. Selama beberapa malam saya menangis. Dan keadaan pun diperparah dengan anak laki-laki yang tinggal di sebelah kamar saya, sesame anak Indonesia yang sering dikunjungi orang tuanya. Saat mendengar obrolan mereka, saya hanya bisa membenamkan wajah di bantal,” beber Tahir.
Lambat laun, Tahir pun mulai beradaptasi dengan kehidupan barunya di negeri Singa tersebut. Ia pun mengaku bangga menjadi mahasiswa di Universitas Nanyang. Terlebih, ia pun memiliki 2 teman sekamar sesama orang Indonesia, yakni berasal dari Jawa Tengah dan Malang.
Adapun, ayah kedua teman sekamar Tahir itu adalah pengusaha yang berbisnis di Singapura. Keduanya, kata Tahir, adalah anak-anak yang tingkat perekonomiannya jauh di atas keluarganya. Namun, Tahir sudah terbiasa menjadi salah satu orang tingkat perekonomiannya paling rendah.
Baca Juga: Mengenal Rosy Riady, Istri Konglomerat Dato Sri Tahir yang Gemar Beramal dan Modis Abis!