Dato Sri Tahir adalah sosok yang tidak asing lagi dalam dunia bisnis dan filantropi. Jiwa sosial yang tinggi melekat di dirinya. Ia tak hanya dikenal di Indonesia, tapi juga di mancanegara. Bahkan orang terkaya dunia Bill Gates mengakui itu.
Di balik sikap dermawannya, pria yang memiliki nama asli Ang Tjoen Ming yang lahir di Surabaya, 26 Maret 1952 ini merupakan sosok yang sangat menjunjung tinggi pendidikan.
Usai lulus dari SMA Kristen Petra Kalianyar Surabaya, Bos Mayapada tersebut sempat bercita-cita menjadi dokter. Akan tetapi, kondisi ayahnya yang sedang sakit keras saat itu membuat Tahir muda harus berhenti kuliah dan melanjutkan bisnis ayahnya di Surabaya.
Meski begitu, pendiri Tahir Foundation ini akhirnya berkuliah bisnis di Nanyang Technological University (NTU), Singapura. Dari sanalah, insting berbisnis Tahir makin terasah.
Melalui pena Alberthiene Endah dalam buku berjudul Living Sacrifice, suami Rosy Riady Riady ini pun menceritakan kisah soal permintaan orang tuanya yang menginginkan dia kuliah di Singapura.
Gak cuma itu, dalam buku biografinya pula, Tahir pun menceritakan secara gamblang tentang betapa takjubnya ia dengan almamaternya, Nanyang Technological University (NTU) Singapura. Tak hanya itu, Tahir pun mengaku kerap mengalami ‘pergulatan batin’ lantaran selalu merasa rindu dengan keluarganya saat kuliah.
Seperti apa cerita lengkapnya? Berikut Olenka ulas kisahnya.
Baca Juga: Kisah Perubahan Nama Tahir dari Ang Tjoen Ming
Ikuti Permintaan Sang Ayah
Dalam buku biografinya, Living Sacrifice, Tahir mengakui jika masa kecilnya kurang berkesan. Tak seperti remaja-remaja seusianya yang lain, Tahir justru menghabiskan masa kecil dan remajanya dengan belajar dan berbelanja untuk trading.
Diketahui sejak tinggal di Surabaya, Tahir dan ayahnya menjalani peran sebagai saudagar atau pedagang. Ia terbilang ulet mengembangkan relasi untuk membantunya melariskan jualannya. Ia pun tak segan melakukan pendekatan ke sejumlah supplier dan pedagang di sekitar tempatnya tinggal.
Meski menjalani kehidupan yang terbilang keras, Tahir yakin bahwa dirinya menjalani kehidupan yang benar dan jadi anak yang patuh terhadap orang tua.
“Menurut saya, meski hidup saya membosankan, yang terpenting saya menjalankan tanggung jawab sebagai anak laki-laki, sebagai anak tertua,” ujar Tahir.
Ketika berusia 19 tahun, Tahir merasa sudah waktunya bagi dia untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau kuliah. Ia sudah merasa dan tahu jika orang tuanya sendiri sebenarnya tidak hanya ingin dia belajar trading atau berdagang. Kedua orang tua Tahir berharap anaknya bisa menjadi lulusan universitas terkemuka.
Tahir bilang, saat itu, cukup banyak pengusaha atau pedagang di Surabaya yang menyekolahkan anaknya ke luar negeri jika tidak bisa mendaftarkan anaknya ke perguruan tinggi negeri di Indonesia.
Menurutnya, saat itu Singapura jadi negara yang sangat populer sebagai tujuan belajar, begitu juga Jerman. Namun, bagi Tahir sendiri, Jerman menimbulkan kekhawatiran yang luar biasa bagi orang tuanya.
“Jerman jaraknya terlalu jauh, dan orang tua saya khawatir akan sulit mengunjungi saya di sana. Saya juga tidak terlalu tertarik untuk belajar di sana. Dan negara lain yang popular untuk belajar di luar negeri adalah Singapura, dan akhirnya menjadi pilihan kami,” tutur Tahir.
Alasan Memilih Kuliah di Singapura
Alasan memilih Singapura lainnya, menurut Tahir, selain karena banyak pengusaha Tiongkok yang mengirim anak-anak mereka ke Singapura setelah anaknya menyelesaikan SMA, alasan bagus lainnya adalah kebanyakan dari mereka ingin anak-anaknya dapat berbicara Bahasa Mandarin dengan baik di Singapura.
Sebab, kata Tahir, banyak universitas di Singapura yang menggunakan Bahasa Mandarin sebagai bahasa pengantar dan jadi bahasa komunikasi mereka. Mandarin pun, lanjut Tahir, dianggap sebagai bahasa penting untuk perdagangan.
“Saat itu papah menyarankan kenapa enggak saya gak kuliah di Singapura. Karena menurut papah, saya sendiri sudah familiar dengan negaranya dan saya diyakini tidak akan kesulitan melakukan penyesuaian di sana (Singapura). Mamah juga saat itu mengatakan yang sama, selain banyak kampus bagus di sana, mamah juga yakin saya bisa mendapatkan pekerjaan terhormat nantinya setelah lulus. Entah itu mau jadi pedagang atau jadi pekerja di perusahaan besar,” papar Tahir.
Dari perbincangan dengan orang tuanya itu, Tahir pun setuju untuk kuliah di Singapura. Namun, di sisi lain hal itu membuatnya gelisah.
“Kuliah di luar negeri sebenarnya sama sekali gak terpikirkan oleh saya. Saya pikir orang tua saya akan menyuruh saya kuliah di dalam negeri, di kampus seperti ITS, Unair, atau UGM. Tapi saya salah. Orang tua malah menyuruh saya kuliah di Singapura, tapi saya pikir ini mungkin sudah jadi pilihan terbaik dari orang tua saya, dan mereka akan melakukan yang terbaik juga untuk saya,” jelas Tahir.
Setelah sepakat untuk mengambil kuliah di Singapura, tepatnya di Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Tahir mengaku dirinya langsung mengumpulkan informasi untuk menindaklanjuti rencananya itu.
Tahir pun kemudian datang ke Singapura untuk berbelanja kebutuhan usahanya. Selama perjalanannya itu, ia pun mengunjungi kampus Nanyang Technological University (NTU) Singapura dan mencari tahu apa yang harus dilakukan untuk mendaftarkan diri di sana.
“Kampus itu menerapkan tes masuk yang sangat ketat. Hanya mereka yang benar-benar pintar yang bisa lulus ujian. Mereka tidak menerima suap apa pun,” ujar Tahir.
Baca Juga: Makna dan Peran Becak dalam Kehidupan Dato Sri Tahir