Menyikapi masa pemerintahan 10 tahun Presiden Joko Widodo (Jokowi), Peneliti sekaligus Pakar Hukum Tata Negara PSHK, Bivitri Susanti, mengatakan bahwa kualitas dan kuantitas hukum yang dibangun di era Jokowi, khususnya di level eksekutif dan legislatif belum berjalan baik.
Dari sisi kuantitas, kata Bivitri dari Prolegnas (program legislasi nasional) yang menargetkan agar dapat melahirkan sejumlah Undang-undang untuk (UU) masa 5 tahun pemerintahan Jokowi banyak yang tidak memenuhi target.
“Bahkan dari target yang disusun sendiri, ternyata gak dipenuhi. Kalaupun ada, kualitasnya gak cukup baik,” tutur Bivitri, di acara Seminar Nasional 'Evaluasi 1 Dekade Pemerintahan Jokowi', yang bertempat di Hotel Millenium, Jakarta, Kamis (3/10/2024).
Ia pun lantas mengatakan, kualitas legislasi DPR juga terlihat dari proses pembuatan UU. Ia menyoroti sejumlah rancangan maupun revisi UU yang dikebut dan disahkan DPR dalam waktu cepat. Kondisi seperti itu, kata dia, sangat mempengaruhi kualitas UU yang dihasilkan.
Contohnya, seperti Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi KPK pada 2019, yang selesai dalam waktu dua minggu saja. Kemudian, ada juga sejumlah UU yang telah disahkan yang diduga terkait dengan berbagai kepentingan. Seperti, UU Minerba, UU KPK, dan UU Cipta Kerja.
"Menurut saya, kualitasnya itu bisa kita nilai tidak hanya dari isinya, tetapi juga dari prosesnya. Karena kalau menyebut proses, satu ukurannya harusnya partisipatif secara bermakna," papar Bivitri.
Baca Juga: Evaluasi Satu Dekade Pemerintahan Jokowi, Indef Sebut Masih Banyak yang Perlu Dibenahi
"Presiden ingin memberikan konsesi yang bagus untuk para pemilik tambang batu bara, 6 hari revisi UU Minerba keluar. Presiden ingin memindahkan ibu kota ke IKN, 21 hari UU-nya dikeluarkan begitu saja oleh DPR. Dari studi-studi yang sudah kami lakukan, keinginannya besar untuk memperbaiki ekonomi, tapi pengennya instan," sambung Bivitri.
Bivitri pun lantas menilai, lembaga seperti DPR hingga KPK kini ststusnya seperti sudah 'mati'. Matinya DPR hingga KPK,kata Bivitri, tidak lepas dari campur tangan Presiden Jokowi sendiri.
"DPR mati sebagai lembaga yang menyeimbangkan kekuasaan. Tidak pernah lagi ada hak angket sejak 2017. Presiden mau matikan KPK, dua minggu pada 2019 revisi UU KPK keluar," kata Bivitri.
Bivitri juga menyebut, penurunan kualitas demokrasi makin terlihat ketika Mahkamah Konstitusi (MK), yang masih dipimpin Anwar Usman meloloskan putra sulung Jokowi yang notabebeWali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menjadi peserta Pemilu 2024.
Bivitri juga menilai, saat ini Indonesia pun mengalami obesitas regulasi, apabila Prolegnas seringkali tidak memenuhi target tetapi pemerintah justru lebih berfokus dengan aturan-aturan di lingkup kecil.
“Kita ini obesitas regulasi ternyata, karena meskipun target UU kecil dari prolegnas tidak tercapai tetapi ternyata yang konkret-konkret itu ada di level bawah. Mulai Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan sebagainya yang banyak tumpang tindih,” tutup Bivitri.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Era Jokowi Dinilai Paling Rendah Ketimbang Zaman SBY dan Soeharto, Seperti Apa?