"Presiden ingin memberikan konsesi yang bagus untuk para pemilik tambang batu bara, 6 hari revisi UU Minerba keluar. Presiden ingin memindahkan ibu kota ke IKN, 21 hari UU-nya dikeluarkan begitu saja oleh DPR. Dari studi-studi yang sudah kami lakukan, keinginannya besar untuk memperbaiki ekonomi, tapi pengennya instan," sambung Bivitri.

Bivitri pun lantas menilai, lembaga seperti DPR hingga KPK kini ststusnya seperti sudah 'mati'. Matinya DPR hingga KPK,kata Bivitri, tidak lepas dari campur tangan Presiden Jokowi sendiri.

"DPR mati sebagai lembaga yang menyeimbangkan kekuasaan. Tidak pernah lagi ada hak angket sejak 2017. Presiden mau matikan KPK, dua minggu pada 2019 revisi UU KPK keluar," kata Bivitri.

Bivitri juga menyebut, penurunan kualitas demokrasi makin terlihat ketika Mahkamah Konstitusi (MK), yang masih dipimpin Anwar Usman meloloskan putra sulung Jokowi yang notabebeWali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menjadi peserta Pemilu 2024.

Bivitri juga menilai, saat ini Indonesia pun mengalami obesitas regulasi, apabila Prolegnas seringkali tidak memenuhi target tetapi pemerintah justru lebih berfokus dengan aturan-aturan di lingkup kecil.

“Kita ini obesitas regulasi ternyata, karena meskipun target UU kecil dari prolegnas tidak tercapai tetapi ternyata yang konkret-konkret itu ada di level bawah. Mulai Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan sebagainya yang banyak tumpang tindih,” tutup Bivitri.

Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Era Jokowi Dinilai Paling Rendah Ketimbang Zaman SBY dan Soeharto, Seperti Apa?