Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) akhirnya ikut bersuara terkait kehebohan publik tentang beban utang pada proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh. Ia menegaskan jika pembangunan proyek tersebut bagian dari investasi jangka panjang negara.

Menurutnya, pembangunan tersebut dilatarbelakangi oleh kemacetan parah di wilayah Jabodetabek dan Bandung yang telah terjadi puluhan tahun.

Baca Juga: KPK Diam-diam Usut Dugaan Korupsi Whoosh

Baca Juga: Whoosh Proyek Untung atau Rugi, Begini Hitung-hitungan Jokowi

"Ini, jadi kita harus tahu masalahnya dulu, ya. Di Jakarta itu kemacetannya sudah parah. Ini sudah sejak 30 tahun, 40 tahun yang lalu, 20 tahun yang lalu dan Jabodetabek juga kemacetannya parah," ujarnya seperti dilansir, Selasa (28/10/2025).

"Termasuk Bandung juga kemacetannya parah. Dari kemacetan itu, negara rugi secara hitung-hitungan kalau di Jakarta saja kira-kira Rp65 triliun per tahun. Kalau Jabodetabek plus Bandung kira-kira sudah di atas Rp100 triliun per tahun," tambah dia.

Lebih lanjut, mantan Walikota Solo ini menyebut untuk mengurangi kerugian akibat kemacetan, maka diperlukan moda transportasi massal yang efisien.

"Nah, untuk mengatasi itu kemudian direncanakan dibangun yang namanya MRT, LRT, kereta cepat, dan sebelumnya lagi KRL. Ada juga kereta bandara agar masyarakat berpindah dari transportasi pribadi mobil atau sepeda motor ke kereta cepat, MRT, LRT, kereta bandara, KRL. Agar kerugian itu bisa terkurangi dengan baik. Dan prinsip dasar transportasi massal, transportasi umum itu adalah layanan publik. Ini kita juga harus ngerti bukan mencari laba," ujarnya lagi.

Selain itu, ia menegaskan jika proyek Whoosh tidak semestinya dinilai dari aspek keuntungan finansial, melainkan manfaat sosial.

"Jadi, sekali lagi, transportasi massal, transportasi umum, itu tidak diukur dari laba, tetapi adalah diukur dari keuntungan sosial. Social return on investment, misalnya, pengurangan emisi karbon," bebernya.

Tambah dia, seperti proyek MRT Jakarta yang disubsidi pemerintah daerah untuk menjaga keterjangkauan tarif.

"Di situlah keuntungan sosial yang didapatkan dari pembangunan transportasi massal. Jadi sekali lagi, kalau ada subsidi itu adalah investasi, bukan kerugian. Kayak MRT, itu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mensubsidi Rp800 miliar per tahun itu pun baru dari Lebak Bulus sampai ke HI. Nanti kalau semua rute sudah selesai diperkirakan Rp4,5 triliun. Dari hitung-hitungan kami dulu 12 tahun yang lalu," tukasnya.