Uang Kredit Dipakai Beli Aset Nonproduktif
Lebih lanjut, Kejagung menyebut bahwa dana kredit yang seharusnya digunakan sebagai modal kerja justru dipakai untuk membayar utang Sritex kepada pihak ketiga, serta dibelanjakan untuk aset nonproduktif, termasuk pembelian tanah di Solo dan Yogyakarta.
“Untuk modal kerja tetapi disalahgunakan untuk membayar utang dan membeli aset nonproduktif, sehingga tidak sesuai dengan peruntukan yang seharusnya,” ujar Qohar.
Tindakan ini menimbulkan kerugian negara yang tidak sedikit. Berdasarkan perhitungan awal, potensi kerugian negara yang ditimbulkan akibat praktik ini mencapai Rp692,9 miliar.
Para tersangka pun dijerat dengan pasal-pasal berat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU RI No.31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU No.20 Tahun 2001, serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Dengan total pinjaman yang belum dibayar mencapai triliunan rupiah dan kerugian negara ratusan miliar, kasus ini menjadi sorotan besar publik. Terlebih, Sritex selama bertahun-tahun dikenal sebagai ikon industri tekstil Indonesia.
Respons Serikat Buruh
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyatakan dukungannya kepada Kejaksaan Agung untuk mengusut tuntas kasus korupsi yang menyeret bos Sritex.
“Kalau memang terbukti ada kerugian negara, ya harus ditindak tegas, tangkap dan penjarakan pelakunya, termasuk Direktur Utama PT Sritex,” ujarnya, dikutip dari CNBC Indonesia.
Lebih lanjut, Said juga mengingatkan Pemerintah agar jangan sampai lupa nasib para buruh.
“Negara tidak cuma harus menyelamatkan uang negara, tapi juga harus menjaga hak dan kehidupan buruh yang selama ini dirampas,” tambahnya.
Baca Juga: Mengulik Harapan Sritex Jadi BUMN, Peluang untuk Bangkit?