Dunia bisnis Indonesia diguncang oleh penangkapan Iwan Setiawan Lukminto, Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), oleh Kejaksaan Agung.
Penangkapan ini terkait dengan penyidikan kasus dugaan korupsi dalam pemberian kredit bank kepada Sritex, yang sebelumnya telah dinyatakan pailit dan resmi menghentikan operasionalnya pada 1 Maret 2025.
Penangkapan Iwan ini menambah daftar panjang permasalahan yang membelit Sritex. Sebelumnya, perusahaan tekstil raksasa ini dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang setelah gagal memenuhi kewajiban pembayaran utang. Total utang yang tercatat mencapai Rp32,6 triliun, sementara aset perusahaan hanya sekitar Rp10 triliun.
Sontak, penangkapan ini menjadi sorotan publik, mengingat Iwan Setiawan Lukminto pernah masuk dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes pada tahun 2020. Namun hanya lima tahun kemudian, ia harus menghadapi kenyataan pahit dengan ditutupnya Sritex dan kini menghadapi proses hukum atas dugaan korupsi.
Lantas, seperti apa duduk perkara kasus yang menjerat generasi kedua Sritex ini? Dikutip dari berbagai sumber, Kamis (22/5/2025), berikut Olenka rangkum beritanya.
Kisah Sritex, Raksasa Tekstil dari Solo
Dulu, nama Sritex sempat membuat bangga Indonesia. Produk tekstilnya tembus ke pasar dunia, bahkan jadi langganan seragam militer untuk puluhan negara. Namun sekarang, semua tinggal cerita. Pada Oktober 2024, Pengadilan Niaga Semarang resmi menyatakan Sritex pailit.
Dikutip dari laman Merdeka.com, kisah Sritex sendiri dimulai dari sesuatu yang sederhana. Tahun 1966, Haji Muhammad Lukminto memulai usaha tekstilnya di Pasar Klewer, Solo, dengan nama UD Sri Redjeki.
Dari pasar tradisional, perlahan tapi pasti, bisnisnya melesat terutama di era Orde Baru, berkat kedekatannya dengan pemerintah saat itu yang membuka banyak peluang proyek.
Seiring waktu, UD Sri Redjeki berubah jadi PT Sri Rejeki Isman Tbk dan resmi melantai di bursa lewat IPO tahun 2013. Sritex makin agresif, mengakuisisi perusahaan lain, memperbesar kapasitas produksi, serta memperluas distribusi.
Nama Sritex pun makin berkibar. Mereka bisa mengolah kapas dari awal sampai jadi baju yang kesemuanya dikerjakan di dalam negeri.
Dan puncaknya saat Sritex jadi pemasok utama seragam militer untuk lebih dari 30 negara, termasuk NATO. Seragam tempur, baju loreng, sampai perlengkapan militer buatan Solo tersebar ke berbagai penjuru dunia.
Tak hanya itu, mereka juga bikin pakaian jadi untuk brand-brand global sepertiH&M, Uniqlo, dan Zara. Sritex pun sempat jadi bukti kalau perusahaan lokal bisa bersaing di panggung internasional.
Tapi, masa kejayaan itu tak bertahan lama. Setelah Haji Lukminto wafat, tongkat estafet perusahaan dipegang oleh anaknya, Iwan Setiawan Lukminto. Sayangnya, di tangan generasi kedua ini, kondisi perusahaan mulai goyah, sampai akhirnya Sritex benar-benar tumbang.
Baca Juga: Bank DKI Hormati Proses Hukum Terkait Kredit PT Sritex