PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) resmi menghentikan operasional pabrik pada Sabtu (1/2/2025). Penutupan ini menyebabkan ribuan karyawan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Jumat (28/2/2025) menjadi hari terakhir bagi para pekerja Sritex memasuki pabrik tempat mereka bekerja.
Penutupan pabrik Sritex merupakan imbas dari status pailit yang disandang perusahaan. Meski baru resmi ditangguhkan pada awal Maret 2025, Sritex telah menghadapi masalah keuangan sejak 2021. Perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara ini dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 2024 melalui putusan perkara nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Jatuhnya Bisnis Sritex
Kondisi kepailitan Sritex menjadi puncak dari krisis keuangan yang dialami selama beberapa tahun terakhir. Hal ini tampak dari ketidakmampuan Sritex untuk memenuhi pembayaran utang, adanya gugatan hukum dari beberapa perusahaan, hingga akhirnya keputusan resmi kepailitan dari peradilan.
Dilansir dari laman kontan, masalah keuangan yang dialami Sritex bermula sejak 2021 yang kerugian sebesar US$ 1,08 miliar. Gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dari CV Prima Karya semakin memperburuk kondisi keuangan Sritex. Gugatan tersebut tercatat dengan nomor perkara 12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Smg.
Dalam kasus ini, Sritex bersama tiga anak usahanya, yakni PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya, dinyatakan berstatus PKPU sementara.
Dampak Kepailitan
Penutupan Sritex membawa dampak besar, terutama bagi para karyawan yang kehilangan pekerjaan. Ribuan pekerja yang selama ini bergantung pada perusahaan menghadapi kesulitan ekonomi. Ditutupnya Sritex juga akan menutup ribuan lapangan pekerjaan dan menambah tingkat pengangguran.
Dilansir dari Narasi, penutupan Sritex berpotensi menekan daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi, khususnya di wilayah sekitar pabrik. Tak hanya itu, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sekitar pabrik juga terancam mengalami kerugian akibat penurunan aktivitas ekonomi.
Selain dampak sosial, penutupan Sritex juga berpotensi menurunkan pendapatan negara dari sektor pajak, baik pajak penghasilan karyawan maupun pajak pertambahan nilai (PPN) dari aktivitas perdagangan.