Ketika Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia menceritakan perjalanan hidupnya. Kisah itu menggambarkan perjuangan seseorang dari latar belakang sederhana yang bertekad meraih cita-cita besar. Dalam ceritanya, dialog dengan sang ibu, Kartinah, di dapur menjadi momen yang membekas.
"Saya ingat, waktu itu pulang ke kampung, saya menemani emak di dapur sambil memasak. Masih pakai kayu bakar, karena tidak ada kompor. Ibu saya bilang, ‘Sudah cukup kamu jadi sarjana.’ Tapi saya jawab, ‘Belum cukup, Mak. Saya ingin lebih dari ini’," ungkap Abdul Mu'ti mengawali cerita seperti yang dikutip Olenka melalui sebuah video pada Rabu (27/11/2024).
Kala itu, Mu’ti kemudian mengarahkan pandangan ke atas, ke genteng kaca yang satu-satunya menerangi dapur gelap mereka. Secara tiba-tiba, ia menyampaikan ingin menjadi seperti genteng kaca yang mampu menerangi seluruh ruangan di rumahnya. Berawal dari perumpamaan sederhana ini, menjadi tekadnya untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi orang banyak.
Baca Juga: Perjalanan Hidup Abdul Mu'ti: Cendekiawan Muslim yang Kini Jabat Menteri Pendidikan dan Menengah
"Mak, saya ingin jadi seperti genteng kaca itu. Satu saja, tapi bisa menerangi seluruh ruangan," terangnya.
Namun, perjuangan untuk melanjutkan kuliah bukan hal mudah. Pasalnya, sang ibu mengaku sudah tidak kuat lagi untuk membiayai pendidikan Mu'ti. Alih-alih berkecil hati, ia justru tidak keberatan dengan itu.
“Tidak apa-apa, Mak. Saya akan cari beasiswa," jawabnya mantap.
Singkat cerita, sejak masa madrasah sanawiyah (SMP), ia sudah memiliki mimpi besar, meski tak pernah diungkapkan kepada orang tua. Ia sudah bermimpi ingin mengejar cita-cita sampai ke Australia.
“Waktu itu, saya sudah bercita-cita kuliah ke Australia. Bapak dan ibu saya tidak tahu. Kenapa Australia? Karena sebelum subuh, saya sering mendengarkan program English from Radio Australia. Dari radio itu saya belajar Bahasa Inggris, karena orang tua tidak mampu membiayai kursus,” tukasnya.
Baca Juga: Kisah Abdul Mu’ti, Anak Desa yang Membawa Perubahan
Rutinitas Abdul Mu’ti mencerminkan perjuangan tanpa henti. Setiap pagi sebelum subuh, ia mendengarkan siaran radio, kemudian salat, menghafal Al-Qur’an, dan bersepeda sejauh 8 kilometer ke sekolah. Ketekunan itu membuahkan hasil, membuatnya unggul dalam berbagai lomba pidato Bahasa Inggris.
"Guru saya sering heran, kok Mukti yang dari kampung bisa selalu juara? Tapi mereka tidak tahu rahasianya, saya belajar dari radio setiap pagi," bebernya.
Selama perjalanan meraih cita-cita, Mu'ti kerap kali merasa lelah. Namun, tak ada sedikit pun niat untuk menyerah. Pasalnya, saat merasa lelah, Mu’ti sering mendapat semangat dari Ayahnya, Jamyadi.
"Bapak saya bilang, ‘Orang yang punya cita-cita tidak boleh menyerah pada keadaan. Kalau lelah, ingatlah bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan’," jelasnya.
Ia juga menggali motivasi dari Al-Qur’an, khususnya Surah Al-Insyirah. Di mana dalam surah itu disebutkan, kesulitan itu disebut al-usr dalam bentuk definitif, artinya terbatas. Sedangkan kemudahan disebut yusron dalam bentuk indefinitif, artinya tidak terbatas.
"Ini mengajarkan kita bahwa meski masalah terasa besar, jalan keluarnya lebih banyak," katanya.
Dari dialog sederhana di dapur hingga perjuangannya meraih mimpi, Abdul Mu’ti menunjukkan bahwa keterbatasan bukanlah alasan untuk menyerah. Kejarlah cita-citamu, jangan menyerah, dan yakinlah ada jalan keluar. Jadilah seperti genteng kaca—mungkin kecil, tetapi mampu memberi terang bagi sekitarnya.