Hal lainnya yang juga disoroti oleh Esther, adalah bagaimana iklim demokrasi yang kian lama kian tergerus dan praktik KKN yang semakin terang benderang.
“Status indonesia saat ini slow demokrasi. Sehingga, diharapkan dengan adanya diskusi hari ini, bukan hanya akan bisa menjadi evaluasi dan catatan penting, tapi juga diharapkan bisa menjadi dasar kebijakan bagi pemerintahan mendatang,” lanjutnya.
Di kesempatan yang same, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Prof. Didin S Damanhuri, mengatakan, pertumbuhan ekonomi di masa 2 periode pemerintahan Jokowi terbilang paling rendah ketimbang era SBY bahkan Soeharto.
"Saya bisa simpulkan, era Pak Jokowi ini adalah era pertumbuhan ekonomi yang paling rendah, dibanding Pak SBY (5,7 persen). Apalagi dibanding zaman Soeharto (7 persen)," tukas Prof. Didin.
Di era Jokowi, kata Prof. Didin, rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen. Memang cukup unggul ketimbang negara lain, termasuk saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Saat itu, ekonomi Indonesia terkontraksi ke level minus 2 persen. Negara lain lebih parah, bahkan ada yang minus 15 persen.
"Tetapi kita mempunyai tenaga kerja yang begitu banyak, maka pertumbuhan ekonomi yang 5 persen itu menjadi tidak cukup. Nah pertumbuhan ekonomi yang baik tapi tidak baik dari era sebelumnya, ini punya konsekuensi," tandasnya.
Prof. Didin pun menyinggung dan mengkritik soal orientasi GDP, yang mana Jokowi membangun infrastruktur secara besar-besaran. Namun hhal ini tidak terkait kepada pemecahan kesempatan kerja maupun peningkatan kesejahteraan, dan sistem politiknya pun sangat tidak mendukung, sangat high cost.
"Dampak GDP oriented, kesenjangan antar golongan pendapatan, kesenjangan antar wilayah, serta kesenjangan antar sektor," jelasnya.
Baca Juga: Jalan Terjal Pemerintahan Prabowo Wujudkan Pertumbuhan Ekonomi 8%