Sejumlah ekonom turut mengomentari ambisi Pemerintah Indonesia di bawah kendali Prabowo Subianto mendatang yang menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai 8%. Dengan target tersebut, Indonesia harus bersaing di pasar internasional dengan meningkatkan produktivitas dan berlevel global, bukan hanya pasar lokal.

Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, menekankan bahwa Indonesia harus siap bersaing dengan semua negara maju dan negara berkembang yang telah lepas dari middle income trap. Asia Barat atau Timur Tengah, Afrika Utara, dan Afrika merupakan pasar-pasar baru yang bisa dijadikan target pasar.

Baca Juga: Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 8% Melalui Industrialisasi

"Jika bisa tumbuh 6,5-7% itu satu hal yang baik, tapi jika hanya 5% ke bawah, Indonesia tidak akan bisa ke mana-mana dan tetap jadi middle income country di level bawah. Jika ingin berhasil, harus ada tim super yang tidak politicking atau techno politician, bukan politisi, melainkan teknokratis," tegas Prof. Didik, dikutip Rabu (25/9/2024).

Kebijakan Fiskal

Dari sisi fiskal, hal pertama yang menjadi sorotan Prof. Didik adalah upaya menstabilkan kondisi makro Indonesia. Tercatat, per 30 April 2024, total utang pemerintah mencapai Rp8.338,43 triliun yang bersumber paling besar dari penerbitan surat berharga negara (SBN). Hingga akhir April 2024, total penerbitan SBN sebesar Rp7.333,11 triliun, sedangkan sisanya berasal dari pinjaman sebesar Rp1.005,32 triliun.

Sementara itu, rasio utang pemerintah terhadap terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga April lalu sebesar 36,5% dengan PDB Rp22.830 triliun. Pemerintah lewat Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan, pengelolaan utang pada tahun 2025 akan dilakukan lebih berhati-hati. Desain defisit APBN 2025 dinilai rendah dan masih di bawah batas aman defisit sebesar 3%, yakni hanya di kisaran 2,45-2,82% dari produk domestik bruto (PDB), dan keseimbangan primer defisit 0,3-0,61% dari PDB.

"Sekarang utang naik besar sekali sehingga harus dicari cara mengelolanya. Jika utang banyak, income tax ratio-nya harus naik. Jika mencicil dan menghabiskan 50% dari income, pendapatan Indonesia harus dinaikkan dua kali lipat," tegas Prof. Didik.

Selain pengelolaan utang, kebijakan terkait perdagangan dan ekspor harus diperhatikan.  Prof. Didik menyayangkan adanya kuota perdagangan yang tidak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat. "Dulu di era orba tentang trade policy, semua duta besar diberi tugas, yaitu Market Access. Jika ekspor naik, duta besar itu dianggap berprestasi," kenangnya.

Masalah selanjutnya adalah tarif pajak barang eskpor. Menurutnya, insentif ekspor dengan suku bunga yang tinggi seperti sekarang ini akan sulit.