Belum lama ini, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengumumkan tarif resiprokal pada 2 April 2025. Kebijakan ini menetapkan tarif impor baru yang memberatkan banyak negara, termasuk Indonesia.

Tarif resiprokal sendiri merupakan kebijakan perdagangan di mana suatu negara menetapkan bea masuk terhadap produk negara lain yang setara atau sebanding dengan tarif yang diterapkan oleh negara tersebut.

Dikutip dari Antara, Trump dalam pidatonya menyebut bahwa langkah ini sebagai bagian dari Liberation Day, strategi besar untuk membebaskan ekonomi Amerika dari ketergantungan pada impor.

Sontak, kebijakan ini pun memicu berbagai reaksi dari berbagai negara dan langsung mengguncang pasar keuangan global, tak terkecuali Indonesia. Ya, Indonesia juga tidak luput dari penerapan kebijakan tarif resiprokal sebesar 32 persen dari yang biasanya 10 persen per 9 April 2025.

Dan terbaru, Rabu (9/4/2025) waktu AS, Donald Trump akhirnya menunda penerapan tarif resiprokal bagi mayoritas negara-negara mitra dagangnya. Namun, Trump menaikkan lagi tarif bagi China menjadi 125 persen.

Ia pun menurunkan tarif impor dari sebagian besar mitra dagang AS menjadi 10 persen selama 90 hari. Trump mengumumkan jeda ini beberapa jam setelah barang dari hampir 90 negara dikenai tarif impor baru yang lebih tinggi atau tarif resiprokal oleh Amerika Serikat.

Alasan Trump menunda kebijakannya itu adalah untuk memberikan waktu bagi negosiasi perdagangan dengan negara-negara tersebut.

Lantas, seperti apa latar belakang dan update terbaru kebijakan yang dikeluarkan Donald Trump ini? Dikutip dari berbagai sumber, Kamis (10/4/2025), berikut Olenka ulas selengkapnya.

Latar Belakang Trump Tetapkan Tarif Resiprokal

Dikutip dari Kompas.com, kebijakan tarif resiprokal ini digunakan oleh Amerika Serikat untuk "memperjuangkan keadilan" dalam perdagangan internasional.

Donald Trump pernah menyatakan bahwa AS telah lama dirugikan oleh negara-negara yang mengenakan tarif tinggi terhadap produk AS, sementara AS memberikan tarif rendah terhadap mereka.

Adapun, setidaknya terdapat tiga motif di balik kebijakan ini, yaitu melindungi industri domestik Amerika Serikat terhadap serbuan produk murah dari luar negeri. Motif kedua, mengurangi defisit perdagangan yang tinggi seperti dengan China dan India.

Selain itu, kebijakan ini akan mendorong negosiasi ulang perjanjian perdagangan dengan mitra dagang untuk menciptakan kesetaraan dalam akses pasar.

Penerapan tarif tambahan akan berdampak langsung pada penurunan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat secara signifikan. Penurunan ekspor akan berdampak pada melambatnya produksi dan lapangan pekerjaan. Pasalnya, industri ekspor komoditas unggulan sebagian merupakan industri padat karya.

Terlebih pasar dalam negeri masih belum bisa diandalkan untuk menggantikan ekspor tersebut. Guncangan di sektor finansial perlu diantisipasi pada saat bursa saham Indonesia kembali dibuka.

Kondisi saat ini, berbagai indeks saham Asia Tenggara rontok menyusul pengumuman tarif Trump. Mata uang kawasan juga cenderung melemah, termasuk Rupiah. Efek turunan tarif resiprokal juga akan terasa pula di pasar keuangan.

Perang Dagang AS vs China

Berselang 2 hari dari pengumuman Trump, China pun membalas dengan mengenakan tarif impor tambahan sebesar 34% terhadap semua produk dari AS. Selain itu, China juga akan membatasi ekspor logam tanah jarang (rare earths) kepada AS terhitung 4 April 2025.

Trump pun akhirnya membalas serangan balik China. Trump menambahkan lagi bea impor dari Cina 50 persen setelah Beijing tidak menarik kembali janjinya untuk mengenakan tarif balasan sebesar 34 persen atas barang-barang dari AS.

Akhirnya, pada Selasa (8/4/2025) pun Trump terus memperketat kebijakan tarif impor dengan mengenakan 104 persen bea masuk pada barang-barang China.

Keputusan ini diambil setelah Beijing menolak membatalkan pembalasan mereka, memperparah ketegangan antara dua negara perekonomian terbesar dunia dalam perang dagang yang memicu gejolak pasar global.

China akhirnya bersuara soal serangan tarif impor 104 persen yang diberlakukan Presiden AS, Donald Trump, terhadap mereka. Mengutip AFP, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Lin Jian, menyatakan bahwa China tidak akan tinggal diam dengan serangan itu.

China bertekad akan mengambil langkah tegas dan kuat untuk melindungi kepentingannya setelah tarif tinggi AS sebesar 104 persen mulai berlaku.

Sementara itu Kementerian Perdagangan China menyatakan Negeri Tirai Bambu itu memiliki keinginan kuat untuk berperang dagang dengan Washington.

China pun akhirnya mengumumkan tindakan balasan, dengan mengatakan akan menaikkan tarif balasannya terhadap AS menjadi 84%, naik dari 34%, berlaku mulai hari ini Kamis (10/5/2025) dan berlaku setelah pajak sebesar 104% atas ekspor negara tersebut ke AS mulai berlaku.

Sementara itu, dikutip Xinhua Net, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China pun mengingatkan AS bahwa memberi tekanan dan ancaman bukanlah cara yang benar untuk berurusan dengan China. Karena itu, China mendesak AS membatalkan semua kebijakan tarifnya kepada China.

"Menghentikan penindasan ekonomi dan perdagangan, serta menyelesaikan perbedaan dengan China secara tepat melalui dialog yang setara berdasarkan saling menghormati," katanya.

Dikutip dari CNN Indonesia, Juru Bicara tersebut pun mengatakan, langkah balasan yang diambil China sepenuhnya sah dan bertujuan untuk melindungi kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunan nasional, serta menjaga tatanan perdagangan internasional yang normal.

Terkait keputusan China tersebut, Donald Trump pun langsung membalasnya dengan meningkatkan tarif impor baru sebesar 125 persen kepada Negeri Tirai Bambu tersebut dari semula yang ditetapkan 104 persen.

Trump sendiri telah lama menuduh China mengeksploitasi AS dalam perdagangan.Ia menganggap agenda proteksionisnya diperlukan untuk menghidupkan kembali manufaktur dalam negeri dan menopang kembali lapangan kerja Amerika.

Baca Juga: Nasib Pasar Keuangan RI Dampak Kebijakan Tarif Trump